Selasa, 10 Desember 2013

CATATAN CITA-CITA RARA (1)

“Ma, dingin sekali. Kakiku kaku. Bibirku beku. Peluk aku ma!”, rintih Rara yang saat itu sedang terbaring lesu. Dua hari Rara terbujur di kamar tidurnya. Entah karena apa, Mama Papanya belum  memeriksakannya. Mamanya sibuk mengurus butik yang baru dibukanya setahun yang lalu. Sementara Papanya sibuk membubuhkan tanda tangan, maklum Papanya adalah direktur sebuah perusahaan.

Dua hari sebelum Rara sakit, dia tak merasa gejala apa-apa. Waktu itu dia hanya merasa rindu dengan orang tuanya, teramat rindu. Setiap hari rasanya dia tak pernah berjumpa dengan orang tuanya, saling menegur sapa bahkan tak pernah bercanda layaknya sebuah keluarga. Pagi berangkat pulang larut malam.

Pernah suatu hari Rara menunggu mereka hingga pukul duabelas malam, ketika pintu dibuka masuklah Mama Papanya dengan tergesa-gesa sampai-sampai tak menyadari ada seorang anak menanti mereka. “Ma, Pa pulangnya larut sekali. Aku sampai mengkompres mataku dengan es batu agar aku tak tertidur.”, ucap Rara.

Papanya melotot memandanginya. “Buat apa sih kamu melakukan itu. Tidak berguna sama sekali. Seharusnya sekarang kamu itu sudah tidur, Ra. Memang kamu mau besok terlambat datang ke sekolah? ”

“Kamu suka ya kalau kamu terlambat sekolah? Suka kalau Mama Papa dipanggil ke sekolah karena kamu sering terlambat gara-gara begadang nunggu Mama Papa? Suka kalau Mama Papa malu gara-gara tingkah konyolmu itu? Sekolah itu bayar, Ra. Kamu jangan  buat main-main uang hasil jerih payah kita!”, Mamanya beranjak meninggalkan.

Rara hanya diam mematung “Ma, Pa aku hanya ingin melihat wajah Papa Mama. Aku kangen orang tuaku.” tak berani menjawab Rara hanya merintih dalam hati. Wajahnya pucat, tak menyadari reaksi orang tuanya akan seperti itu. Keterbukaan mereka terlalu mengejutkan. Beranjak Rara menuju kamarnya dengan beban yang tertuang lewat air mata.

**

Orang tuanya tak tahu, dua hari Rara tidur dengan kepala berat, badan dingin dan rindu yang tak menentu. Baru setelah pembantunya melaporkan keadaan Rara, orang tuanya membawa Rara ke rumah sakit. Tetapi, ternyata tak ada yang lebih penting selain pekerjaan. Pekerjaan yang setiap hari mendatangkan uang, tidak seperti Rara yang setiap hari menghabiskan uang. Mereka pikir uang yang setiap hari mengalir akan membawa kehangatan, kebahagiaan dan kenangan yang tak tergantikan. Mereka pikir hidup Rara ceria disuguhi uang puluhan juta, baju warna-warni dari Eropa atau rumah barbie bak istana. Padahal yang diinginkan Rara hanyalah sedikit waktu untuk bertemu. Kasih sayang dan cinta yang seharusnya terasa diusianya yang masih remaja.

“Suster, aku mau solat. Sekarang jam berapa?” suara Rara lirih berlomba dengan deru hujan. “Sekarang jam tujuh malam, Rara. Mari suster temani solat.”
Rara tersenyum menghempaskan selimut penutup tubuhnya. Membasuh muka dan memakai mukena, tidak lupa dia berdoa untuk orang tua tercinta.

Dilipatnya mukena yang terkena air wudhu dari wajahnya setelah solat. Kemudian berdiri melangkah ke tempat tidurnya. Dia tulis diselembar kertas sebuah catatan.
“Suster, Rara mau tidur. Suster boleh tinggalin Rara. Nanti kalau Rara bangun Rara pencet bel nya.”

Suster itu berdiri dan mengusap rambut Rara “Rara, kamu hari ini kelihatan cantik sekali. Besok mungkin kamu sudah boleh pulang.” Bibir Suster itu membentuk lengkungan senyum. Bahagia sekali perasaan Rara.

Rara memang merasa bahagia dengan perkataan Suster itu, tapi entah mengapa air mata juga terbentuk di sudut mata. Rara cepat terlelap. Satu jam dua jam tiga jam sampai keesokan hari Rara tak juga terbangun. Suster pikir Rara lelah sehingga tidur selama itu. Suster melangkah pergi membawa obat kembali, enggan membangunkan Rara yang terlelap dengan senyum manisnya.

“Dokter, sepertinya Rara sudah membaik. Saya pikir hari ini dia boleh kembali ke rumah.” Suster menemui dokter yang biasanya menempelkan stetoskop ke dada Rara.


Dokter melebarkan bibirnya, tersenyum “Saya pikir juga begitu. Kemarin saya periksa dia sudah sehat dan kuat. Mukanya berseri-seri. Kemarin dia tak henti-henti menunjukkan barisan gigi-giginya kepada saya. Manis sekali anak itu. Tolong kamu hubungi orang tuanya ya. Sepertinya mereka jarang sekali menemui anaknya. Sayang sekali.”

LILIS RUSMIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar adalah caraku untuk mengendus jejakmu *halah*. Hayo, komentar biar gue bisa ngendus jejakmu! Haha :D