҉ SALSA ҉
“Besok kita nonton, ya?”
“Hmm.”
“Sayang?” Aku merajuk manja, menyentuh jemari tangannya, meremasnya.
Membuatnya mengalihkan pandangan dari smartphone ke arahku.
“Sa, kamu gak lihat aku lagi sibuk?” Jawabannya dingin. Ekspresi wajahnya,
matanya, seakan menyalahkan aku yang sedari tadi menjelma seperti parasit. Mengganggu. Mencuri waktu berharganya.
Aku menarik tanganku, merasa bersalah telah memaksanya menemuiku malam ini.
Lihat Reza sekarang, menatapku dengan pandangan kesal, marah, dan ingin
cepat-cepat menyudahi pertemuan ini. Aku menundukkan kepalaku, helaian rambut
ikut turun menutupi wajahku.
Reza diam, kembali mengalihkan pandangannya ke smartphone, entah apa yang
membuatnya lebih tertarik untuk menatap layar smartphone daripada wajahku.
Suasana kaku, membuatku lebih canggung. Satu menit, lima menit, sepuluh menit,
setengah jam, sisa pertemuan ini diisi kekosongan.
“Rez, tadi aku ngajak kamu ketemu karena besok lusa aku harus balik ke
Surabaya. Dan mungkin selama 2 bulan aku nggak akan pulang ke sini. Aku harus
nyelesaiin skripsiku dan juga ngurus toko kue yang udah mulai banyak pesanan.
Dua bulan lagi lebaran, kan? Tapi, kamu malah nolak buat ketemu ketika kita
lagi ada kesempatan buat ketemu. Rez, aku ngerti kamu sibuk. Aku juga sibuk. Aku
lagi sakit, flu berat, empat jam demam di dalam kereta, sendirian. Kemarin, aku
minta tolong kamu buat jemput, tapi, kamu bilang lagi sibuk. Aku terima. Aku
pulang sendiri, naik becak. Sekarang? Kamu sibuk dengan urusan kamu sendiri,
sibuk dengan smartphone-mu, sedikitpun kamu nggak merhatiin aku. Kamu kenapa, Rez?”
Mataku berkaca-kaca, tanpa menunggu jawabannya aku beranjak, menyentuh
pundaknya, dan melangkah pergi. Reza tetap duduk tenang, terdiam menatap lilin
di tengah meja, tidak menahanku. Ah, ini menyakitkan.
ᴥᴥᴥ
҉ REZA ҉
Arrrrghhh.
Aku mengacak rambutku. Menelungkupkan kepalaku ke meja. Mengangkatnya
kembali. Menatap kosong orang-orang yang sibuk dengan santapan makan malamnya.
Menyentuh layar smartphone dengan kasar. Separuh hatiku memaksaku untuk
menelpon Salsa, meminta maaf karena mengacuhkannya malam ini. Tapi, separuh
hatiku dengan gengsi tinggi menolak. “Besok
dia pasti sudah tidak marah lagi. Tidak perlu minta maaf. Pagi-pagi dia pasti
akan menelponmu, kemudian menemuimu. Tenang, tidak perlu khawatir.”
Hatiku diliputi keresahan. Menelpon atau tidak. Minta maaf atau tidak.
Frustasi terlihat seperti orang blo’on—melamun kemudian mengacak rambut, aku
memutuskan keluar dari cafe itu.
Langit malam bertabur bintang, terang. Rembulan sedang purnama. Aku
teringat Salsa. Dia suka kuajak keliling kota, menatap langit, menunjuk-nunjuk
bintang, kemudian tertawa tiba-tiba. Entah aku juga tidak tahu apa istimewanya
langit luas itu.
Malam ini aku berkeliling kota sendirian. Mencoba memudarkan rasa
bersalahku pada Salsa. Berharap setelah ini aku akan pulang dengan kedamaian
yang menyelimuti. Aku menghentikan erangan mesin motorku di pinggir jalan,
mendongak, menatap langit. Menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya. Semakin
resah saja perasaanku ini. Aku mendengus kasar.
ᴥᴥᴥ
Sampai matahari meninggi dan ayam-ayam memutuskan berhenti berkokok, aku
tidak kunjung menerima SMS atau telpon dari Salsa. Separuh hatiku masih gengsi
untuk menelponnya. Sementara, separuh yang lain memohon supaya aku bertindak
layaknya pria dewasa.
Kling.
Pesan dari Salsa.
Aku balik ke Surabaya hari ini. Maaf untuk kemarin malam. Aku sayang kamu.
Ah, Salsa. Kemarin aku seperti itu karena sedang kecewa dengan bosku. Sudah
menyerahkan laporan tapi masih tetap saja disalah-salahkan. Ah ya, aku lupa.
Aku juga sibuk BBM-an dengan teman kerjaku—Wella. Maaf, Sa. Dia tiba-tiba
datang di saat yang tepat, ketika aku mulai depresi dengan pekerjaan yang
semakin rumit saja.
Aku memandang foto Salsa di layar smartphone-ku dengan perasaan bersalah
dan kecewa. Menimbang-nimbang keputusan mana yang akan kuambil.
ᴥᴥᴥ
҉ SALSA ҉
“Ma, Pa, aku berangkat dulu, ya. Mungkin dua bulan aku nggak pulang dulu.
Mama yang ke kontrakkan aku aja, ya?”
“Iya, Sa. Tapi lebaran kamu harus pulang lo, ya!”
“Iya, Ma. Pasti.” Aku mencium tangan orang tuaku. Berjalan menjauh, tapi seperti
ada yang menahanku. Membisikkan kalimat supaya aku jangan pergi. Angin
berhembus kencang, menerpa wajah dan rambutku yang terurai. Langit tiba-tiba
dipenuhi gumpalan awan hitam. Kenapa, ya? Ah, mungkin mau hujan.
Aku berjalan di lorong stasiun diiringi bayangan peristiwa tadi malam.
Pertemuan yang mengecewakan. Aku tersenyum getir. Kuputuskan mengirim SMS untuk
Reza.
Aku balik ke Surabaya hari ini. Maaf untuk kemarin malam. Aku sayang kamu.
Beberapa menit menunggu, diterpa rasa bosan, memilin-milin rambutku,
menatap kakiku yang terbungkus sepatu converse abu-abu, menyanyikan penggalan
lagu yang liriknya tidak kuhafal sepenuhnya ‘Don’t
give up on us, don’t give up on love’, menekan tombol power smartphone-ku,
tapi tidak kunjung ada balasan dari Reza.
Tiba-tiba ketika aku mulai bosan menunggu balasan, Reza sudah berdiri tegak
di hadapanku.
“Maaf, ya Sa. Keretanya berangkat jam berapa?”
“Jam sepuluh. Maaf buat apa, sayang?” Aku riang menjawab.
“Buat kemarin malam.”
“Oh, iya. Gak apa-apa.”
Selanjutnya hanya angin yang sibuk mengisi percakapan kami.
ᴥᴥᴥ
҉ REZA ҉
Setelah sibuk bergulat dengan pikiranku sendiri, meyakinkan hatiku,
meneguhkan keputusanku, akhirnya kuberanikan diri menatap wajahnya yang
sekarang terlihat sendu.
“Sa, kamu ngerasa ada yang aneh gak dengan hubungan kita ini?”
“Aneh? Iya, Rez. Aku ngerasa, kok. Bahkan dari pertama kita memutuskan buat
‘dekat’. Kita yang gak jelas status hubungannya apa, pacaran bukan, teman biasa
juga bukan. Aneh, kan, aku tetap bertahan dengan status seperti kapal kehilangan
kompas, tidak tahu arahnya kemana.” Salsa tersenyum masam.
“Aku pikir, kamu...”
“Aku tahu.”
Mulutku masih mengerucut, Salsa memotong kalimatku.
“Aku tahu, aku tidak pernah benar-benar ada, saat kamu butuh aku. Aku tidak
pernah benar-benar memegang tanganmu, saat kamu butuh pegangan. Aku juga tidak
pernah benar-benar menguatkanmu, saat kamu jatuh terkulai lemah. Dan kamu tidak
pernah benar-benar mengusap air mataku, saat aku menangis. Kamu juga tidak
pernah benar-benar menemaniku, saat aku sendiri kesepian. Kita tidak pernah
benar-benar ada, saat satu sama lain saling membutuhkan.
Padahal kamu tahu, Rez, cinta dibuktikan dengan komitmen untuk saling mendukung.
Untuk selalu ada, bukan hanya saat suka, tapi juga saat duka. Tapi, kita tidak
pernah benar-benar saling berpegangan tangan, menemani saat suka ataupun duka.
Kita terlalu sibuk dengan kecamuk urusan masing-masing. Benar, kan?”
Aku hendak menjawab, tapi terlambat. Kereta sudah merapat di stasiun dan
Salsa bergegas pergi. Aku tahu dia marah, dia kecewa denganku yang semakin lama semakin menjauh, tapi sebelum
benar-benar masuk ke dalam kereta dia memaksakan tersenyum ke arahku, walaupun
kaku. Aku diam membeku, ada yang terasa sakit saat kereta berdecit melaju
kencang.
“SALSAAAAAA! MAAFIN AKU!” Aku berteriak, tapi lagi-lagi terlambat. Suaraku tidak
terdengar. Gerbong terakhir kereta bahkan sudah terlihat sangat kecil, kemudian
hilang tak terlihat di pelupuk mata.
ᴥᴥᴥ
Peristiwa itu terjadi dua belas bulan yang lalu. Aku masih mengingat setiap
keping ceritanya. Kepingan itu masih sering terputar otomatis di ingatanku,
tanpa ada adegan yang terlupakan. Membuat rasa bersalah, kekecewaan serta goresan
luka itu menganga lagi.
Salsa yang menyempatkan menemuiku di sela kesibukannya di Surabaya, sedang
sakit, tapi malah kuacuhkan. Salsa yang memutuskan kembali ke Surabaya saat
pikiran dan hatinya kalut berkabut. Salsa yang di akhir hembusan napasnya masih
sempat mengeja namaku ‘Reza’. Tapi, aku dengan tega menganggapnya tidak selalu
ada saat aku sedang membutuhkannya. Padahal akulah yang gelap mata. Akulah yang
bodoh sudah menyia-nyiakannya. Akulah yang sibuk mencari yang lebih sempurna,
padahal Salsalah yang selalu berusaha menjadi yang terbaik buat aku.
Aku menatap pusara Salsa yang diselimuti rumput hijau. Satu tahun berlalu
dan aku tidak akan pernah melupakan kamu, Salsa. Aku akan selalu datang
menemuimu, saat sibuk ataupun luang. Menemanimu menjemput senja, walaupun raga
tidak sedang bersama. Mengajak bayanganmu berkeliling kota, menatap langit dan
segala ornamennya, walaupun kita berbeda atap. Aku beratapkan langit biru dan
kamu beratapkan tanah coklat kehitaman. Tapi, kamu tidak perlu khawatir, aku
akan tetap memberitahumu jika rembulan sedang purnama.
Sa, sekarang kita memang berada di tempat berbeda. Tidak terhitung berapa ratus kilometer jaraknya. Tetapi, kita justru dapat bersama. Karena, kali ini jarak, ruang, dan waktu bukan lagi penghalang untukku memberi tatapan, perhatian, atau percakapan singkat sekedar menanyakan apakah kamu kedinginan di 'kamar barumu'. Ya, walaupun kamu diam saja ketika kutanya. Tapi, tidak apa-apa, Sa. Memandang 'wajahmu' saja sudah cukup.
Sa, sekarang kita memang berada di tempat berbeda. Tidak terhitung berapa ratus kilometer jaraknya. Tetapi, kita justru dapat bersama. Karena, kali ini jarak, ruang, dan waktu bukan lagi penghalang untukku memberi tatapan, perhatian, atau percakapan singkat sekedar menanyakan apakah kamu kedinginan di 'kamar barumu'. Ya, walaupun kamu diam saja ketika kutanya. Tapi, tidak apa-apa, Sa. Memandang 'wajahmu' saja sudah cukup.
Salsa, maafkan aku yang sempat berpikiran mau melupakanmu. Sebulan setelah
kamu tinggal di ‘kamar barumu’, aku baru sadar bahwa setiap hari, sesibuk
apapun kamu dulu, kamu tetap menyempatkan mengirimiku pesan singkat yang di
dalamnya terselip sejuta bukti cinta dan semangat.
Maafkan aku yang membuat dadamu sesak, terkoyak, terluka. Maafkan aku yang membuatmu tidur dengan membawa bekas luka. Maaf, Sa. Aku harap bekas luka itu akan memudar seiring dengan lamanya jasadmu terpendam. Walaupun tidak sepenuhnya hilang.
Maafkan aku yang membuat dadamu sesak, terkoyak, terluka. Maafkan aku yang membuatmu tidur dengan membawa bekas luka. Maaf, Sa. Aku harap bekas luka itu akan memudar seiring dengan lamanya jasadmu terpendam. Walaupun tidak sepenuhnya hilang.
Sa, aku janji aku tidak akan pernah secara sengaja menghapus apapun tentang
kamu dalam ingatanku. Biar waktu yang melakukan itu. Bahkan ketika aku tua
nanti—mulai kehilangan ingatan di masa lalu, beruban, pikun dan
menjadi seperti anak kecil lagi, aku berharap aku tetap ingat suara tawa
riangmu. Tawamu adalah musik yang akan tetap membuatku merasa baik-baik saja.
Sa, kamu tahu tidak, aku kehilangan separuh hatiku. Ada yang mencurinya,
membuatku insomnia setiap hari, resah semalaman, kelimpungan harus mencari
kemana, kamu tahu, Sa, siapa pencurinya? Kamu, Sa. Kamu yang membawa separuh hatiku pergi.
Separuh hatiku yang kini terkubur bersama jasadmu.
Satu tahun berlalu, kamu akan tetap menjadi yang terindah dalam hidupku.
Aku akan menjalani hari-hariku dengan selalu mengenangmu. Seminggu atau sebulan
sekali menemani dan memelukmu di pekuburan desa yang dikelilingi bunga kamboja.
Ah, itu akan selalu menyenangkan, Salsa. Kamu bergegas 'tidur', ya, nanti mata panda. Rembulan sedang purnama, dia akan menerangi 'kamarmu'. Aku sayang kamu, Sa.
Aku mengecup pusara Salsa.
ᴥᴥᴥ
Tulisan ini diikut sertakan dalam #RegasGa uyeeeeah \o/
Ceritanya dari dua sudit pandang ya? keren juga :D
BalasHapusyap betul :D
Hapusmakasih kak imam zaky :))
Wah, terhanyut dengan ceritanya. Mengalisr buangeeeeeeet. Duh, tapi ternyata meninggal. Emang ya si Reza sudah menyia-nyiakan seseorang berhati malaikat sseperti aku, eh, Salsa.
BalasHapushihiw serius mbak? :D awaaw makasiiiih mbak asma *ketjup*
Hapusiya, tapi akhirnya kan sadar, mbak. wlpun telat :D
Keren banget. Gua pengen bikin cerpen kayak gini belom bisa-bisa. Hehe
BalasHapusayo kak tirsme, dicoba dulu :))
Hapusngegambar pejuang jomblo aja bisa masak bikin cerpen gini gak bisa :p
kereen nih. jadi inget film flipped. duh jd pengen nulis buat #regasga juga
BalasHapusmakasih kak fadhil :D
Hapusayo nulis juga. masih satu harilo :D
sumpah keren, gue hampir nangis bacanya :(
BalasHapusmasih hampir kan, mbak? :p
Hapusawaw makasih mbaaak :3
Salsa! Kamu pundungan sekali, merajuk2 kek anak kecil. *eh.
BalasHapusTulisannya bagus, kak. Semoga menang XD
hihiw :D makasiiih aamiin :)
HapusKenapa endingnya gitu? :( nice story kak :))
BalasHapuskarena emang dibuat gitu heehe :D
Hapusmakasiih nurizka :))
haduh ini bagus banget.. berasa bersalah banget jadi laki2 kalo punya cwe yang kaya gitu :( semoga kita menang ya hahaha *ceritanya saingan menangin GAnya adit*
BalasHapusmakasih bang :))
Hapusmakanya jgn nyia2in cewek kayak Salsa gitu ya :)
aamiin deh. nnt kaosnya dipotong jd 2 ya wkw
Harusnya sih, postingan ini menangin giveaway. Nanti dibagi ya kaosnya \m/
BalasHapusaamiin aamiin :D
Hapusduh, bang renggo modus minta kaos -_-
Bagus nih ceritanya, ceritanya pake sudut 2 orang yang berbeda. Tapi sayangnya salsa udah tiada :l
BalasHapusmakasih bang jerapah :) wkw
Hapusya emang dibuat gitu bang ._.
woghhhh. keren banget. pake dua sudut pandang. trus alur yang ngetwist. keren deh ini.
BalasHapussemoga tidak ada lagi yang mengacuhkan pasangan karena ego yang terlalu tinggi
aaaakk makasih bang zega :))
Hapusiya semoga ^^
penyesalan selalu dateng di akhir yaa.. keren lis ceritanya dan ngga nyangka endingnya begitu *hiks :'(
BalasHapusiya mbak :)
Hapusmakasih mbak dishaaa cantik :3
menghanyutkan banget ceritanya :3
BalasHapusduh kayak air aja udahan :D
Hapusmakasih bang fauzi :)
Wowowowowowow keren abis... sampe hanyut gini bacanya gue... terbawa suasana huhuhu..
BalasHapusEniwei, semoga menang ya GAnya. Eh, pasti menang deh kalo gini mah! :)
ati-ati ya hanyutnya haha :p
Hapuswaaa makasiiih rifqi ;))
ceritanya menarik mbak. salam kenal. semoga selalu hadir dgn cerita2 yang menarik. salam
BalasHapustrimakasih :) semoga saja :)
Hapuskalo gue nemu cewe yang kayak gitu gak bakalan gue sia2in :(
BalasHapusyes betul :)
Hapus