Minggu, 27 Juli 2014

Pelukan

Aku melirik jam tangan yang melingkari tanganku, jarum pendek di angka sebelas sedangkan jarum panjang termangu di angka dua belas. Aku masih punya satu jam lagi. Satu jam lagi dan harus segera pulang. Sudah larut, sekarang pukul sebelas malam bukan sebelas siang.

Sudah lima jam aku duduk di sini. Sendirian. Melampiaskan kekecewaan kemarin malam. Entah apa yang bisa membuatku kecewa sedemikian dalam, aku sendiri juga tidak tahu, yang pasti ada yang sakit di sini. Di sebuah tempat bernama hati. Hati yang kuat sekaligus rapuh, hati yang penuh suka sekaligus duka, hati yang penuh harapan sekaligus kekecewaan. Aku kecewa, ya kecewa.

Aku bangkit berdiri, berjalan beberapa langkah, menelusuri lekuk jembatan tempat kita pertama kali pergi berdua. Jembatan masih tetap kokoh berdiri dan laut masih tetap jernih, biru kehijau-hijauan, tidak ada yang berubah.

Ah, lihat di atas sana, rembulan bercahaya sempurna, malam ini purnama. Berbanding terbalik dengan hatiku saat ini , sedang gelap, sempurna gelap dengan kekecewaan. Aku menggerakkan telunjukku, menunjuk sebuah bintang kemudian menghubungkannya dengan bintang yang lain membentuk inisial namamu, “D”.

ᴥᴥᴥ

25 Juli 2014, 07: 21: Sayang, maaf kemarin aku ketiduran. Have a nice day, ya sayang :*

13.27 : Sayang, kamu di mana? Kok gak bbm aku? Lagi sibuk ya? Ya sudah, semangat ya kerjanya, sayang. Aku sayang kamu ({})

17:10: Sayang, sudah pulang belum? Jadi keluar nggak? Aku tunggu di rumah, ya :*

17:45: Sayang, aku sudah siap-siap. Kamu jemput di rumah, kan? Hati-hati di jalan ({})

18.01: Sayang, gak jadi keluar, ya?

18:36: Sayang, kamu lagi lembur?

19:49: Sayang,kamu baik-baik saja, kan?

20: 02: Sayang, hari ini aku sebel sama kamu -_-

21:48: Gnite, sayang. Meskipun kamu gak ngasih aku kabar aku tetep posthink, kok :* Tapi, juga tetep kesel sama kamu :p Aku sayang kamu ({}) <3

Malam ini aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku. Bukan karena buku yang kubaca, juga bukan karena insomnia. Aku memikirkan kamu seharian. Memikirkan berbagai kemungkinan “kenapa?”. Aku belum terbiasa merasa diacuhkan seperti ini. Juga belum terbiasa menjalani hari tanpa kabar darimu.

Kita belum terlalu lama bersama. Baru tiga bulan. Dan disebut sepasang kekasih pun juga bukan. Tapi, dulu kita sudah kenyang mengamati satu sama lain dari kejauhan tanpa berani mengungkapkan perasaan. Dua tahun hanya diam dan curi-curi pandang. Bukankah sudah cukup lama untuk memupuk rasa sayang dan keinginan untuk bersama?

Aku selalu menyukai pertemuan kita dulu. Maksudku, pertemuanku, kamu, dan teman-teman sekolah kita yang lain. Aku selalu menyukai caramu berbicara, caramu tertawa, dan caramu menatapku diam-diam. Aku juga selalu suka dengan status di sosial mediamu, bagaimana caramu mengungkapkan kekagumanmu pada seseorang lewat kata-kata tak biasa. Aku selalu tersipu, walaupun tidak selalu yakin kamu sedang membicarakanku saat itu.

Tiga bulan yang lalu, akhirnya keberanian datang menghampiri kita. Membuat pertemuan-pertemuan setelahnya menjadi sangat istimewa. Sebenarnya pertemuan kita sama saja seperti pertemuan-pertemuan kita yang dulu. Hanya saja kita sudah tahu perasaan satu sama lain, tidak ada lagi ketakutan cinta bertepuk sebelah tangan. Karena, kenyataannya cinta kita saling bertepuk, saling membalas satu sama lain, dan saling menginginkan satu sama lain. Semua itu istimewa bagiku.

Argh, aku ingin tidur. Sudah cukup memikirkanmu hari ini. Aku berbaring, menelungkupkan bantal, frustasi, tiba-tiba smartphone-ku berdering. Gemetar tanganku, berharap itu darimu. Dan benar.

22:44: Sayang,  maaf buat apapun hari ini dan mungkin juga besok. Aku pengen sendiri dulu. Aku pengen egois sebentar saja. Aku sekarang benar-benar strees berat. Tapi, setelah besok semua akan kembali baik-baik saja. Terima kasih buat pengertiannya ({}) GoodNite, sayang. Aku sayang kamu ({})

Seketika mataku berkaca, bulir lembut itu jatuh tanpa bisa kubendung. Membasahi tempat tidurku, juga lengan bajuku. Aku gemetar melempar smartphone-ku sembarangan. Menutup muka dengan bantal, takut suara sesenggukanku terdengar sampai ke luar.

Sayangnya, aku bukanlah seorang perempuan yang selalu pengertian kepada prianya. Aku terlanjur gelap mata menanggapi pesan darimu. Terlanjur menganggapmu mengacuhkanku walau hanya sehari dua hari. Terlanjur mengganggap diri tidak berarti apa-apa untukmu walau hanya sehari dua hari. Terlanjur merasa hanya membebanimu walau hanya sehari dua hari. Ketidakmengertianku ini yang membuatku menangis, menangis kecewa.

ᴥᴥᴥ

26 Juli 2014, 06:48: Morning, sayang :* Doakan aku, hari ini lancar. Maaf untuk apapun di hari ini. Aku sayang kamu ({})

13:48: Sayang, aku udah selesai dengan urusanku. Bisa lega sedikit :) Besok kita ketemu, ya? Sebagai ganti kemarin lusa :*

Sayangnya, siang itu aku terlanjur termakan oleh kekecewaanku. Kubiarkan saja pesanmu tak terbalas walau sebenarnya separuh hatiku menolak keputusanku.

14:33: Sayang....

15:28: Sayang, kamu masih kesel ya sama aku? Maaf, sayang. Sebelnya jangan lama-lama, ya :)

17:20: Aku harus bagaimana, sayang? Aku akui aku salah.

20:54: Aku minta maaf, untuk apapun yang terjadi.

ᴥᴥᴥ

Sekarang jarum panjang jam tanganku sudah bertengger di atas angka enam. Sudah pukul setengah dua belas malam. Tiga puluh menit lagi dan aku harus segera pulang. Tapi, aku enggan. Tanganku masih mencengkeram pagar jembatan. Berharap tiba-tiba kamu datang, walau kemungkinannya hanya 0,1%. Hari ini kamu sudah mengirim enam pesan, dan aku hanya membiarkannya tak terbalas.

Angin malam membelai rambut hitam legamku yang tergerai sepunggung. Memainkannya sampai menutupi sebelah mukaku. Mata kecoklatanku berair diterpa angin, angin yang membawa bayanganmu.

“Leisa.”

Aku mengenal suara ini. Pelan, kusibakkan anak rambut yang menutup mukaku. Kamu tiba-tiba datang, tepat seperti harapanku beberapa menit lalu.

“Derby.”

“Sayang, maafin aku. Iya, aku tahu aku salah. Tapi, aku tidak bermaksud....ah sudahlah.”

“Maaf.”

Kamu memelukku. Membenamkan wajahku ke dadamu. Menenangkanku dengan mengelus rambutku. Kamu dulu memang pandai meluruhkan kekecewaanku. Sayangnya, kali ini rasa kecewa itu terlanjur berbekas. Terlanjur meninggalkan goresan yang tidak mudah dihilangkan hanya dengan kata ‘maaf’.

Dulu kamu pernah berkata, kan, bahwa semua kekecewaan akan sembuh pada waktunya, tapi goresan yang terlanjur terlukis tetaplah bekas goresan kekecewaan yang tidak semuanya akan hilang. Ibarat bubur tidak akan pernah menjadi nasi lagi.

Walaupun begitu, hari ini aku lega. Karena wanita memang lebih suka bukti daripada kata-kata semata. Terimakasih untuk pelukan tanda permintaan maafmu malam ini.

6 komentar:

  1. Uhhh sediiiihhh :'(((

    ah elah kok saya jadi cengeng gini... eh sebelum lupa.. ijinkan saya ucapkan salam kecerianan... Assalamualaikum wr wb *pake gaya wendi* HAHAHA

    Langsung aja deh, selamat hari raya idul fitri lis, mohon maap lahir dan batin ya hahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. huehehe :))
      waalaikum salam wr wb *bales pake gaya wendi* haha
      minal aidzin juga bang :))

      Hapus
  2. kereeeeeen.. di awal kyk non-fiksi, tapi setelah sampai akhir bacanya, "nampaknya ini seperti fiksi" :D iya gak sih? #sotoy :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini fiksi yang di dalamnya berisi curhatan hahaha

      Hapus
  3. Huehehe again bacaan pembuka pagi yang menyenangkan dari Lilis nih. Buat saya baca keseluruhan, ngga melompat-lompat paragraf saking asyiknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yey mbak asma :)) makasih ya sudah sempetin baca :))

      Hapus

Komentar adalah caraku untuk mengendus jejakmu *halah*. Hayo, komentar biar gue bisa ngendus jejakmu! Haha :D