Rabu, 23 April 2014

Waktu dan Rasa Rindu

Suara tawa kita masih terdengar mengaung di pelataran masjid sekolah. Sejenak aku berhenti tertawa. Diam-diam kuperhatikan wajahmu yang berkulit kuning langsat itu. Hampir saja aku terhipnotis dengan pesona wajahmu yang sedang tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan deretan gigi-gigimu.

Wajahmu tampan, pantas saja banyak yang menyimpan harapan untuk bisa bersamamu. Sifat masculin dan kedewasaanmu memikat banyak perempuan, menaruh angan-angan untuk sekedar mendapat senyuman darimu. Kamu yang tak pernah pilih-pilih dalam berteman, membuat banyak perempuan semakin tak karuan ketika mendapat sedikit perhatian darimu. Dan aku tau betul bahwa, perhatianmu itu tak lebih dari pedulinya seorang teman. Memang perempuan selalu begitu, terlalu melebih-lebihkan keadaan. Hiperbolis.

Kamu, lelaki yang membuatku jatuh hati. Lelaki yang membuatku harus menahan bibirku yang sekarang suka tiba-tiba tersenyum sendiri ketika bertemu dengannya. Lelaki yang membuat jantungku cepat lelah, karena berdetak semakin cepat ketika secara tidak sengaja bertatap mata. Lelaki yang membuatku salting setengah mati, ketika aku membaca tweet-tweet romantisnya (yang sebenarnya aku tahu pasti itu bukan untukku).

Aku (berpura-pura) kembali ikut tertawa, larut dalam obrolan lucu kita berempat. Kali ini aku tak curi-curi pandang lagi, aku hanyut dalam angan-angan yang kuciptakan sendiri. Sambil terus (berpura-pura) tertawa, aku membayangkan bagaimana rasanya besok, ketika kita sudah tidak lagi bersama? Bagaimana rasanya terjebak rasa rindu sendirian? Bagaimana rasanya tersiksa perasaan ingin berjumpa? Bagaimana sulitnya menahan diri untuk tidak merasa hampa ketika rasa kangen itu ada?

ᴥᴥᴥ

Pagi ini aku kembali menikmati suasana kota Surabaya. Sendirian. Menikmati udara kota metropolitan. Kota yang kuputuskan menjadi tempatku menggali ilmu (lagi). Menikmati lalu lalang kendaraan yang sepagi ini sudah berjejer menggerakkan roda-rodanya. Suara klakson memekakkan telinga. Ini yang tidak aku suka. Tapi aku sudah terbiasa mendengar suara itu, seperti mendengar suara alarm yang setia membangunkanku. Jadi, kunikmati saja daripada aku memaki-maki serangga yang tidak sengaja lewat di depanku.

Sesekali kuarahkan mataku yang bosan melihat lalu lalang kendaraan ke atas. Melihat langit yang sampai saat ini masih saja membuatku kagum. Langit yang sampai saat ini masih saja selalu berhasil membungkam kerinduanku. Kerinduan yang terkadang muncul tiba-tiba tanpa ada persiapan. Langit yang masih saja setia mendengarkan keluh kesah yang sepertinya hampir setiap hari aku sampaikan kepadanya. Dan entah kenapa langit seperti tidak pernah bosan mendengar keluh kesahku itu.

Langit luas itu seperti tahu bahwa aku butuh teman berbagi, tahu bahwa aku perempuan yang bisa saja menangis seharian karena tidak kuat menjadi perempuan pendiam. Langit paham betul bahwa aku perempuan yang akan terhibur hatinya hanya dengan dibiarkan berceloteh apa saja, bercerita kemana saja, dan menghujani langit dengan curhatan-curhatan itu-itu saja.

Ya, sampai saat ini aku masih saja menjadi perempuan yang pandai menyembunyikan perasaan. Perempuan yang sok-sok-an kuat menahan beban yang katanya berat. Tapi, aku juga perempuan yang sedikit-sedikit suka melamun, kemudian menangis, lalu mengeluh, dan berakhir dengan merasa dirinya yang paling tersiksa kerinduan.

Dan ya, aku masih tetap saja menjadi perempuan yang jatuh hati kepadanya. Ya, lelaki yang suka kupandangi diam-diam. Aku masih saja setia memendam rasa kepadanya. Menjadi perempuan yang tidak cukup berani mengungkap rasa atau sekedar memberi tanda bahwa aku cinta. Masih saja dengan sabar mengumpulkan keberanian yang entah kapan akan cukup untuk membuatku berani berkata. Perempuan yang masih saja suka sok-sok-an berpura-pura baik-baik saja, ketika sebongkah kerinduan menghampirinya. Sudah kubilang aku perempuan yang pandai menyembunyikan perasaan.

ᴥᴥᴥ

Jarak masih saja setia menjadi alasan utama kenapa rindu ini ada. Dulu aku masih bisa curi-curi pandang, sekarang? Menatap foto yang tersimpan di handphone pun sudah tak mampu meredam kerinduan. Berapa jauh jarak menghalangi kakiku untuk berjumpa denganmu? Yaya, aku tahu. Hanya aku. Hanya aku yang merasa kelimpungan menahan kerinduan. Hanya aku yang termehek-mehek ingin jumpa. Kamu?

Lalu waktu berkonspirasi dengan jarak. Sudah berapa lama tidak bertemu? Dua tahun. Dulu sehari saja tidak curi-curi pandang, harus membuatku menahan nyeri hati yang tiba-tiba menyelinap bersama bayanganmu. Sekarang? Membaca pesan singkatmu (yang isi pesannya sebenarnya biasa saja), sudah tak mampu membunuh rindu. Bahkan, membayangkan wajahmu sudah menjadi menu.

Waktu, mungkin itulah satu-satunya alasan (rasional) yang bisa membuatku jatuh hati kepadamu. Dulu waktu yang menciptakan rasa yang bisa menggelitik dada. Dulu waktu yang mendatangkan berjuta-juta senyuman saat tidak sengaja berjumpa. Mungkin itulah satu-satunya alasan (rasional) yang membuatku tetap bertahan memendam perasaaan ini kepadamu. Mungkin itulah satu-satunya jawaban (rasional) yang nanti bisa kuucapkan jika kau tanya apa yang membuatku jatuh hati kepadamu.

ᴥᴥᴥ

Baru-baru ini aku mendengar kabar burung dari seorang teman, bahwa dulu kamu sempat jatuh hati kepadaku. Apa benar? Itu berarti aku tidak sedang menahan rindu sendirian, kan? Lalu bagaimana rasanya menahan rindu? Tidakkah berniat mengajakku jumpa?

Ah, mungkin jarak dan waktu sudah melibas habis rasamu kepadaku. Mematikan rasa yang dulu sempat membuatmu berdebar-debar. Mengubur rasa yang dulu pernah kau tujukan kepadaku. Waktu yang menciptakan rasa dan waktu juga yang akan menghambarkan rasa.

Dan kini memang benar hanya aku yang sedang dihajar rasa rindu.

Kediri, sedang ditemani semilir angin dan intipan cahaya matahari. Fiksi pagi hari.



20 komentar:

  1. ini nyebutnya apa ya? *masih gagu bentuk fiksi*

    Tapi kayaknya bukan fiksi, ini rasa asli yang dilabeli fiksi agar tidak menyemukan hati. Mungkin dengan begini, bisa menyontakkan yang dinanti. Berharap disadari dan datang mendekati. Barangkali.

    BalasHapus
  2. hmm. lebih keren kalau ada dialognya sih ini. fiksi bakal lebih hidup dengan adanya dialog. kalau monolog semacam ini, lebih ke curhat sih menurut gua. hehe.

    semoga rindunya cepat berbalas ya

    BalasHapus
  3. Banyak cerita curhatnya :D

    di follback eyaa blognya..

    BalasHapus
  4. Kalo kata twit gue kemaren, 'Ada saatnya ketika rindu dipaksa pertemukan.' Tsah.

    BalasHapus
  5. ya gitulah, jadi cewek cuman bisa menunggu. Waktu memang sudah berlalu, biar menjadi kenangan yang akan dikenang. Selama itu menjadi masa-masa indah.
    Bagus tulisannya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, masa lalu buat dikenang masa depan buat ditatap :)
      makasih :))

      Hapus
  6. sambil menyelam minum air :))
    follback ka :D

    BalasHapus
  7. jujur aku belom bisa gitu bikin curhatan kayak fiksi haha. pasti temen temen pada tau kalo itu curhatan. eniwei keren :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenarnya ini bukan curhatan sih :D gue mah belum pernah ngalamin ini, tapi mungkin bentar lagi gue ngalamin ini. jadi gue kayak menebak2 gitu, rasanya merasakan rindu sendirian gimana :)
      eniwei, trimakasih :))

      Hapus
  8. Setuju sama komen2 di atas, kurang bumbu dialog. Padahal bahasanya udah alus banget. Enak dibaca sampe abis..

    BalasHapus

Komentar adalah caraku untuk mengendus jejakmu *halah*. Hayo, komentar biar gue bisa ngendus jejakmu! Haha :D