Sabtu, 26 April 2014

Hanya Perlu Menunggu


Aku berjalan dalam keremang-remangan senja sepi di sudut jalan. Pikiranku masih bergulat hebat setelah bertemu dengannya. Dia. Seorang yang istimewa dalam hidupku.

***

"Kamu masih saja berhubungan dengannya?", raut wajahnya seolah mencibirku.

"Aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya. Tapi maaf, aku hanya belum bisa melupakannya."

"Hah! Pembohong. Pengkhianat."

Dia berlalu meninggalkanku. Kata-kata terakhirnya menusukku.

"Tunggu!", aku mengejar. Tetapi, emosi berhasil mempercepat langkahnya.

Aku menyerah. Menghentikan langkahku. Air mata menetes lembut, membasahi kedua pipiku. Terjatuh pasrah ke arah tanah.

***

Beberapa detik setelah itu, aku masih saja berjalan. Terang menghilang, gelap mendekat. Matahari dengan sinar keemasannya mulai menutup layar. Bulan dengan anggun menampakkan cahayanya. Sayang, awan kelam bergerak perlahan menutupi-nya.

Angin meniup pohon-pohon kokoh, daun-daun bergoyang memegang kuat-kuat ranting kecil agar tak jatuh ke tanah. Sang daun tua tak kuasa melawan angin, pasrah dirinya terjatuh tergeletak tak berdaya. Jilbabku berkibar mengikuti arah angin. Tanpa perlu mengusap, air mata mengering terkena hempasan angin. Kudekap tubuhku sendiri. Dingin.

Kakiku berjalan semakin cepat. Seakan tahu sebentar lagi hujan akan turun.

Dan benar. Kilat menyambar-nyambar, ketika kudongakkan kepalaku yang terbalut jilbab merah muda. Petir menggelegar. Rintik hujan lembut menyentuh bibirku. Membasahinya.

Aku berlari. Berteduh di bawah atap bangunan tua. Ditemani ingatan yang perlahan-lahan menarikku ke masa lalu.

***

"Aku serius denganmu. Bersabarlah menungguku. Sebentar saja, hanya sebentar. Sementara ini aku akan pergi. Dan aku akan kembali untuk menjemputmu. Mengucap akad untukmu. Memasangkan cincin ke jari manismu. Waktu yang membuatku jatuh hati dan aku yakin waktu yang akan membuat kita bertemu lagi. Sebentar saja, kamu hanya perlu bersabar. Bersabar dalam kesendirianmu. Tunggu aku. ", katamu dengan senyum khas milikmu. Meyakinkanku.

Aku hanya diam termangu.  Berusaha membuka mulut untuk memberi jawaban, tetapi gagal. Aku mengangguk, bibirku merekah. Tersenyum haru.

"Terimakasih sudah mau menungguku. Sementara ini kita tak akan bertemu. Tapi percayalah, hatiku selalu mengingatmu."

Entah kenapa aku cengeng sekali, bukan memberi jawaban tetapi malah menangis. Terseok-seok mengumpulkan kekuatan untuk sekedar kembali tersenyum.

***
Lelaki itu berbohong. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Bukan sebentar seperti yang diucapkannya dulu. Tidak taukah dia aku dirajam kerinduan? Tidak taukah dia aku hampir mati dibunuh sepi? Sepi menunggu dirinya. Sepi yang tak pernah berhasil ditaklukkan lelaki selain dia. Walaupun sudah berkali kucoba.

Lelaki yang kucoba kuusir pergi karena tak kunjung datang. Lelaki yang kucoba hapus dari ingatan. Lelaki yang sosoknya belum juga terlihat, tetapi pesan singkatnya (yang tak pernah kubalas lagi) yang setiap malam mencoba membuatku bertahan.

Lelaki yang kuputuskan kulupakan, karena membuatku dikejar-kejar kesalahan.

***
Kuputuskan menerobos hujan. Berusaha menikmati lembut airnya yang tiba-tiba berubah tajam. Selalu. Aku benci begini. Aku benci hujan yang selalu membuatku mengingatnya.

Aku benci diriku yang kebahagiaannya digerogoti kesedihan. Aku benci diriku yang harapannya basi menjadi angan-angan tak terwujudkan. Aku benci diriku yang senyumannya lapuk jadi tangisan. Aku benci diriku yang masih saja sedikit bertahan menunggu sosoknya yang samar-samar tak terlihat. Aku benci diriku yang jatuh hati dengan mantannya sahabat. Aku benci diriku yang terlihat jahat.

***
"Benarkah aku ini perempuan jahat? Benarkah aku ini pengkhianat? Benarkah aku ini perempuan yang merenggut kebahagiaan sahabatnya?", aku menatap kaca. Mencoba bertanya kepada diriku sendiri.

"Salahkah mencintai laki-laki yang dulu pernah dicintai sahabatnya? Salahkah menunggu laki-laki yang dulu pernah mengisi hari-hari sahabatnya? Salahkah aku yang jatuh hati pada laki-laki yang dulu juga membuatmu jatuh hati? Salahkah aku yang belum berhasil melupakannya walaupun sudah kucoba? Masih salahkah aku yang sudah mencoba menuruti segala inginmu untuk tak berhubungan lagi dengannya, walaupun sesekali masih terbayang wajahnya?"

"Salahkah kami bila tetap memutuskan untuk disatukan dalam ikatan suci pernikahan? Salahkah kami bila tak menuruti segala inginmu lagi?"

Aku terisak. Air mata menyeruak. Sesak. Dada ini sesak.

***

Kutatap matanya yang menyiratkan rasa sakit, "Maaf. Tapi, ini takdir Tuhan. Tuhan menciptakanku dari tulang rusuknya. Lelaki itu jodohku. Dan aku perempuan yang ditunjuk untuk mendampinginya. Maafkan aku. Tetaplah jadi sahabatku. Kumohon."

"Jahat! Kau bukan sahabat tapi pengkhianat. Ambilah dia. Aku sudah tak peduli.", dia berbalik. Mengangkat kakinya dan berjalan menjauh.

Kali ini aku tak mengejarnya. Aku membiarkan Irena pergi. Perempuan yang sudah 7 tahun menjadi sahabatku. Perempuan yang dulu (dan mungkin sampai sekarang) sempat jatuh hati dengan Desta. Lelaki yang sekarang berdiri di sampingku. Lelaki yang menguatkanku. Lelaki yang sudah menepati kata-katanya untuk menjemputku kembali.

Aku yakin suatu hari luka Irena akan terobati. Mengering dan perlahan hilang. Aku yakin dia akan menemukan pengganti Desta. Dan aku yakin dia akan kembali menjadi sahabatku. Aku yakin. Aku hanya perlu menunggu. Dan bersabar. Seperti yang selama ini aku dan Desta lakukan.

***

Don't be serious :p
Kediri, malam hari. Sedang membayangkan rasanya jadi "Aku".

8 komentar:

Komentar adalah caraku untuk mengendus jejakmu *halah*. Hayo, komentar biar gue bisa ngendus jejakmu! Haha :D