Kamis, 01 Mei 2014

Surat Untuk Mengingatkanmu

Kugigit kue bakpau yang masih hangat itu dengan gigi yang gemeletuk kedinginan , kulumat dalam mulutku pelan-pelan. Nikmat. Aku penyuka kue bakpau. Bagiku dengan makan kue bakpau semua kegundahan yang kurasakan perlahan ikut terlumat, kemudian tertelan, dan perlahan hambar tak terasa lagi. Lenyap.

Aneh? Aku memang perempuan aneh. Perempuan aneh yang terjebak cinta yang aneh. Cinta yang dulu tidak bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang cinta itu sepertinya sedang lupa caranya membalas tepukan.


Aku juga penyuka hujan. Setiap kali hujan, aku akan menatap langit dan menjulurkan tangan kemudian tersenyum sambil menutup mata, menikmati aroma tanah kering yang terkena tumpahan air.

Ketika hujan, aku juga akan segera membeli bakpau di depan komplek rumahku, membawanya masuk ke dalam kamar dan duduk di atas kursi meja belajarku. Mengambil secarik kertas dan mulai menulis, sambil menikmati bakpau hangat itu.

Ya, persis seperti yang aku lakukan sekarang.

***

Hai. Sekarang aku sedang menikmati hujan. Aku juga sedang menikmati bakpau hangat rasa coklat. Seperti yang kita lakukan dulu. Dulu ketika kamu tiba-tiba datang ke rumahku. Basah-basahan dan menggigil kedinginan.

Tok tok tok.

Katamu, kamu mengetuk pintu hampir 10 kali, karena aku yang tidak juga muncul membukakan pintu. Maaf ya, saat itu aku sedang tidur dan orang tuaku sedang tak ada di rumah. Oh ya, kamu tahu kan, tidur saat hujan turun itu adalah surga dunia. Haha.

"Ya. Sebentar.", aku menjawab sambil memutar gagang pintu rumahku. Pintu terbuka dan aku melihatmu sedang berdiri mematung sambil menenteng plastik hitam yang entah isinya apa, aku tak tahu.

Kamu tersenyum menatapku yang sedang terbengong-bengong melihat kehadiranmu. Kemudian aku seperti tersengat lebah, sadar bahwa aku sedang memakai celana pendek dan kaus oblong dengan rambut yang kukonde di belakang kepala.

Aku melesat masuk ke dalam kamar, sambil setengah berteriak aku mempersilakanmu masuk, "Kamu masuk aja. Silakan duduk."

Di dalam kamar aku mengganti pakaianku, memakai terusan panjang warna coklat dan jilbab dengan warna senada. Aku keluar dan masih tetap melihatmu berdiri di depan pintu.

"Kamu ngapain disitu? Ayo, silakan masuk.", aku mempersilakanmu masuk untuk yang kedua kalinya.

Tapi kamu tetap saja bergeming di tempatmu berdiri, membuatku kebingungan, tak mengerti maksudmu.

"Kita duduk disini saja, ya. Sambil melihat hujan.", kamu perlahan duduk di atas kursi kayu di depan jendela rumahku.

Kemudian kamu meletakkan plastik hitam yang kamu bawa di atas meja. Aku mengikutimu duduk, masih merasa aneh dengan ajakanmu untuk menikmati hujan dan kedinginan di depan rumah.

Maaf ya, waktu itu aku belum terbiasa melakukan hal itu. Pasti saat itu aku terlihat seperti gadis bodoh yang kebingungan. Ah.

Kita terdiam, aku melihatmu melamun, aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan saat itu. Kamu tahu tidak bahkan saat itu aku sudah memperhatikanmu cukup lama. Cukup lama untuk mengetahui detail wajahmu.

Kamu punya alis hitam tebal yang melengkung di atas matamu, tidak terlalu rapi memang, cenderung berantakan. Tapi aku suka dengan alis matamu. Sepasang mata hitam dengan saraf halus yang terlihat merah, kecil, dan tidak terlalu bulat. Aku suka. Hidung yang sedikit mancung, dan kedua ujung bibir yang tipis. Ujung bibir yang saat itu sedang tertutup rapat.

"Dari kecil aku memang suka hujan-hujan. Tidak peduli ibuku melarang, aku akan tetap berlari keluar rumah. Lalu, aku akan mendongakkan kepalaku, membiarkan air hujan yang lembut itu menyentuh kulit wajahku, membasahi rambut dan tubuhku. Aku tidak pernah khawatir, nanti aku akan terserang flu atau demam. Yang aku pikirkan saat hujan-hujan hanya aku ingin senang.", akhirnya kamu membuka percakapan. Bercerita bahwa kamu suka hujan, hujan yang melunturkan rasa bosanmu.

"Aku sebenarnya tidak suka hujan, hujan itu bikin repot. Mau keluar harus pakai payung atau jas hujan. Becek dimana-mana. Dan suara kodok yang menggelikan.", aku ikut mencoba mencairkan suasana yang sepertinya hampir membeku, dingin.

Lalu, kamu mengeluarkan bakpau hangat dari plastik hitam yang sedari tadi teracuhkan di atas meja.

"Mau?"

Aku meringis,"Mau. Kamu tahu aja aku lagi lapar. Hehe."

"Aku juga suka bakpau. Setiap kali makan bakpau, aku akan menyadari bahwa ada saatnya hidup itu terasa hambar bahkan pahit. Ya, seperti rasa pinggiran bakpau ini, tawar. Dan ada saatnya hidup akan terasa manis. Seperti rasa manis saat kita sudah berhasil menggigit bagian tengah bakpau. Sama halnya dengan hidup, manis ketika kita mau bersabar untuk terus berjuang melewati rasa tawar ataupun pahit."

Aku mengangguk-anggukan kepalaku, mencoba mencerna perkataanmu tadi.

"Yaya, aku setuju dengan pernyataanmu.", kataku sambil mengacungkan jempol kiriku.

Setelah itu, kita membicarakan apa saja, ngobrol ngalor ngidul, dan sesekali gema tawa kita terdengar riuh.

Mulai saat itu aku menyukai hujan dan bakpau. Dan semua itu karena kamu. Ya, kamu. Lelaki yang sekarang sedang melupakanku. Bahkan bukan saja aku, tetapi semua orang dalam kehidupanmu. Melupakan semua kenangan kita yang dulu pernah kamu janjikan untuk tidak kamu lupakan. Tapi, aku tidak akan menyalahkanmu, atau menyalahkan orang yang membuatmu amnesia, atau bahkan menyalahkan takdir Tuhan.

Aku tahu mungkin memori otakmu sudah tidak mengingatku lagi tapi, aku yakin di dalam hatimu pasti masih tertulis namaku.

Semoga kamu ingat denganku. Perempuan yang dulu dan sampai sekarang kamu buat jatuh hati kepadamu.

***

Aku melipat kertas itu, kemudian memasukkannya ke dalam amplop. Menuliskan sebuah alamat. Memasangkan perangko dipojok atasnya. Tidak seperti biasanya memang. Biasanya kertas surat itu akan berakhir di laci meja belajarku. Kali ini aku bersungguh-sungguh mengirimkan surat itu padanya. Pada lelaki yang sudah satu tahun terjebak amnesia karena kecelakaan.

"Mungkin surat ini akan sedikit membuatmu ingat kepadaku. Aku selalu yakin bahwa tulisan adalah pisau pembuka kenangan yang paling tajam.", aku berbicara sendiri menatap amplop berperangko itu. Kemudian mendekapnya. Memejamkan mata, mengingat wajah lelaki itu.

***

Kediri, sedang menikmati intipan matahari pagi. Sehari setelah dipeluk Indah Furi :)

11 komentar:

  1. Bagus nih.. tapi yang jadi "Kamu"-nya siapa ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm, 'Kamu'-nya itu sepertinya emang dibuat untuk orang yang peka.

      Hapus
    2. kamu-nya itu buat lelaki yang lagi amnesia itu :)

      Hapus
  2. Wah, bagus ini. Bikin lagi ya :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. doain aja ya ada ide lagi buat nerusin :D

      Hapus
  3. Kamu dan 'dia' sama-sama aneh ya, suka sama hujan dan makan bapao. Kayak gitu aneh nggak sih? Bingung ya? Sama.

    Ada lanjutannya nggak nih? Si 'kamu' bakalan sembuh dari amnesia nggak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. bingung -__-

      doain aja gue ada ide lagi :D

      Hapus
  4. aku pernah baca ini deh sebelumnya hehe pas dishare lagi aku baca lagi, aku suka ceritanya, kata-katanya bagus. semoga si kamu yang amnesia itu cepet kembali ya ingatannya haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh masak?
      kebanyakan promosi deh kayaknya gue haha

      Hapus
  5. Oh bakpao, lembut menggoda tapi gak kebeli kalo tak ada angpao~

    Setuju sama atasku, kata-katanya bagus :')

    BalasHapus

Komentar adalah caraku untuk mengendus jejakmu *halah*. Hayo, komentar biar gue bisa ngendus jejakmu! Haha :D