Minggu, 15 Februari 2015

Dialog Diri

Trimakasih untuk raga yang senantiasa berjuang, meskipun terkadang lebih suka bergelung di kegelapan kamar. Trimakasih untuk jiwa yang sehat, meskipun terkadang lebih suka berlagak gila dan dipenuhi prasangka. Trimakasih untuk pikiran yang mau kuajak belajar dewasa, meskipun lebih tergoda jadi anak kecil yang lugu dan sederhana.

Trimakasih untuk hati yang terkadang kuat, rapuh, peka, acuh, lembut, kasar, lunak, keras. Trimakasih karena terkadang mau diajak berdamai dengan rasionalitas pikiran, meskipun dongkol, meskipun harus ngomel berhari-hari, meskipun lebih suka mengundang mendung hitam drpd warna-warni pelangi.

Bertambah angka, bukan berarti bertambah dewasa tapi sudah pasti bertambah tua. Bertambah angka, bertambah pula harapan dan kegagalan mewujudkannya.

Aku berharap cantik, tapi aku takut kena pelet kalau aku jadi cantik. Aku takut dikejar-kejar, banyak haters, dan kena teror dari mereka yang benci melihatku cantik. Jadi lebih baik aku jadi perempuan biasa yang pantas dilihat saja. Yang tidak bikin mata merah saat dipandang.

Aku berharap kaya, tapi kalau kupikir-pikir lagi darimana aku dapat harta kalau uang saku kuliah saja masih minta orang tua. Lagipula kalau aku nanti kaya saat belum waktunya, aku takut jadi sombong, pelit, dan dibenci banyak orang karena sifat burukku itu. Jadi lebih baik aku jadi anak muda sederhana yang setidaknya tidak gemar menghabiskan duit orang tuanya.

Aku berharap punya mobil biar bisa selfie di belakang kemudi, tapi banyak orang bilang buat apa mamerin harta orang tua. Kalau dipikir-pikir benar juga. Jadi lebih  baik aku jadi anak muda yang suka selfie sambil pamerin gigi kelinci. Karena cuma gigi kelinci yang aku punya.

Aku berharap semua orang menyukaiku, dalam artian menyukai fisik dan karakterku, tapi aku pernah dengar pepatah semakin tinggi pohon semakin kuat angin yang menerjangnya. Jadi lebih baik aku jadi pohon yang tidak terlalu tinggi daripada tumbang karena tidak kuat diterjang angin puting beliung. Mungkin aku harus tunggu sampai akarku benar-benar kuat menancap tanah.

Aku berharap semakin tua juga semakin dewasa, tapi katanya jadi orang dewasa itu rumit. Mikirin ini itu, berbelit-belit. Tapi aku juga tidak mau punya pemikiran anak kecil yang manja dan parahnya bikin orang lain benci setengah mati. Lagipula apa enaknya punya pemikiran anak kecil yang terperangkap dalam raga yang semakin tua. Lalu bagaimana? Sebaiknya aku mulai belajar dewasa lewat masalah yang melilit sampai sakit, menuntut pengertian, menekan amarah, menumbuhkan kesabaran, menajamkan rasionalitas, dan mengajak kata hati ikut berkonspirasi.

Aku berharap khayalan yang kuciptakan, harapan-harapan yang cuma jadi angan-angan, dan cita-cita yang teronggok di kolong meja, besok jadi kenyataan. Tapi sudah banyak orang membuktikan kalau khayalan, harapan, dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa usaha. Jadi lebih baik aku jadi anak muda yang banyak bicara tidak apa-apa asal juga banyak bekerja.

Trimakasih untuk dialog diri hari ini.

With love,

Lilis❤

Kamis, 12 Februari 2015

Lepaskan atau Pertahankan?

Terkadang ada yang harus kita lepaskan padahal kita gak pengen nglepasin itu. Ada juga yang terpaksa mau gak mau harus kita pertahankan padahal kita udah empet-empetan, udah ngos-ngos-an gak pengen mertahanin. Ada lagi yang satu pengen mempertahankan, eh yang satunya pengen udahan aja. Ya begitulah.

Masih awal 2015 gue bawaannya udah galau aja. Nggak galau sih sebenarnya, gue cuma lagi risau. Haha, oke sama aja. Gak ngerti kenapa si galau ini betah banget ngikutin gue. Dari gue masih jadi generasi alay sampai gue jadi generasi jomblo akhir zaman. Dari jomblo yang masih penuh pesona sampai jadi jomblo lumutan yang rindu kasih sayang. Hm. Oke.

Jadi, tadi waktu gue lagi asik memanjakan diri dengan males-malesan, tiba-tiba aja gue inget seseorang yang beberapa bulan lalu deket sama gue. Aslinya sih gue tiap hari inget, cuman gue acuh tak acuh mencoba gak peduli sama masalah itu. Karena masalah lumut yang mulai menghampiri status gue sebagai jomblo aja udah cukup memberatkan :')) Cukup, bang, cukuuup. Lilis lelah menjadi jomblo yang bukannya dideketin cowok cakep tapi malah diampirin lalat ijo :'((((

"Terkadang ada kebahagiaan yang harus dikorbankan demi menciptakan kebahagiaan lain."

Dihimpit kenyataan kayak gitu itu rasanya kayak pengen upload foto berduaan sama pacar ke instagram tapi yang ada di memori HP malah foto berduaan sama peliharaan. Ngenes.

Tapi ya mau gimana lagi. Memaksakan sesuatu itu gak baik. Apalagi mempertahankan sesuatu yang seharusnya emang dilepaskan. Terkadang kita sering gak sadar bahwa apa yang kita pertahankan itu sebenernya gak baik. Ibarat nahan kentut yang malah bikin sakit perut. Ato malah terkadang kita melepaskan sesuatu yang seharusnya kita pertahankan. Nglepasin duit lima puluh ribu demi malem mingguan padahal duit itu bisa buat makan berhari-hari. Sedih, kan? Hmmmmm, balada anak kost yang malang :((((

Yaudahlah. Intinya apapun yang jadi pilihan kita, konsekuensi dari pilihan itu akan selalu ada. Dalam suatu pilihan pasti ada sepaket kekurangan dan juga kelebihan yang gak bisa kita pisah, macem misahin tenderloin steak dari piring ke perut kita.

P.s: postingan ini gue tulis dua bulan yang lalu, tapi bernasib buruk dengan mendekam di draft selama berminggu-minggu.