“Ma, dingin sekali. Kakiku kaku. Bibirku beku. Peluk aku
ma!”, rintih Rara yang saat itu sedang terbaring lesu. Dua hari Rara terbujur
di kamar tidurnya. Entah karena apa, Mama Papanya belum memeriksakannya. Mamanya sibuk mengurus butik
yang baru dibukanya setahun yang lalu. Sementara Papanya sibuk membubuhkan
tanda tangan, maklum Papanya adalah direktur sebuah perusahaan.
Dua hari sebelum Rara sakit, dia tak merasa gejala
apa-apa. Waktu itu dia hanya merasa rindu dengan orang tuanya, teramat rindu.
Setiap hari rasanya dia tak pernah berjumpa dengan orang tuanya, saling menegur
sapa bahkan tak pernah bercanda layaknya sebuah keluarga. Pagi berangkat pulang
larut malam.
Pernah suatu hari Rara menunggu mereka hingga pukul
duabelas malam, ketika pintu dibuka masuklah Mama Papanya dengan tergesa-gesa
sampai-sampai tak menyadari ada seorang anak menanti mereka. “Ma, Pa pulangnya larut
sekali. Aku sampai mengkompres mataku dengan es batu agar aku tak tertidur.”,
ucap Rara.
Papanya melotot memandanginya. “Buat apa sih kamu
melakukan itu. Tidak berguna sama sekali. Seharusnya sekarang kamu itu sudah
tidur, Ra. Memang kamu mau besok terlambat datang ke sekolah? ”
“Kamu suka ya kalau kamu terlambat sekolah? Suka kalau
Mama Papa dipanggil ke sekolah karena kamu sering terlambat gara-gara begadang
nunggu Mama Papa? Suka kalau Mama Papa malu gara-gara tingkah konyolmu itu?
Sekolah itu bayar, Ra. Kamu jangan buat
main-main uang hasil jerih payah kita!”, Mamanya beranjak meninggalkan.
Rara hanya diam mematung “Ma, Pa aku hanya ingin melihat
wajah Papa Mama. Aku kangen orang tuaku.” tak berani menjawab Rara hanya
merintih dalam hati. Wajahnya pucat, tak menyadari reaksi orang tuanya akan
seperti itu. Keterbukaan mereka terlalu mengejutkan. Beranjak Rara menuju
kamarnya dengan beban yang tertuang lewat air mata.
**
Orang tuanya tak tahu, dua hari Rara tidur dengan kepala
berat, badan dingin dan rindu yang tak menentu. Baru setelah pembantunya
melaporkan keadaan Rara, orang tuanya membawa Rara ke rumah sakit. Tetapi,
ternyata tak ada yang lebih penting selain pekerjaan. Pekerjaan yang setiap
hari mendatangkan uang, tidak seperti Rara yang setiap hari menghabiskan uang.
Mereka pikir uang yang setiap hari mengalir akan membawa kehangatan,
kebahagiaan dan kenangan yang tak tergantikan. Mereka pikir hidup Rara ceria
disuguhi uang puluhan juta, baju warna-warni dari Eropa atau rumah barbie bak
istana. Padahal yang diinginkan Rara hanyalah sedikit waktu untuk bertemu.
Kasih sayang dan cinta yang seharusnya terasa diusianya yang masih remaja.
“Suster, aku mau solat. Sekarang jam berapa?” suara Rara
lirih berlomba dengan deru hujan. “Sekarang jam tujuh malam, Rara. Mari suster temani
solat.”
Rara tersenyum menghempaskan selimut penutup tubuhnya.
Membasuh muka dan memakai mukena, tidak lupa dia berdoa untuk orang tua
tercinta.
Dilipatnya mukena yang terkena air wudhu dari wajahnya
setelah solat. Kemudian berdiri melangkah ke tempat tidurnya. Dia tulis
diselembar kertas sebuah catatan.
“Suster, Rara mau tidur. Suster boleh tinggalin Rara.
Nanti kalau Rara bangun Rara pencet bel nya.”
Suster itu berdiri dan mengusap rambut Rara “Rara, kamu
hari ini kelihatan cantik sekali. Besok mungkin kamu sudah boleh pulang.” Bibir
Suster itu membentuk lengkungan senyum. Bahagia sekali perasaan Rara.
Rara memang merasa bahagia dengan perkataan Suster itu,
tapi entah mengapa air mata juga terbentuk di sudut mata. Rara cepat terlelap.
Satu jam dua jam tiga jam sampai keesokan hari Rara tak juga terbangun. Suster
pikir Rara lelah sehingga tidur selama itu. Suster melangkah pergi membawa obat
kembali, enggan membangunkan Rara yang terlelap dengan senyum manisnya.
“Dokter, sepertinya Rara sudah membaik. Saya pikir hari
ini dia boleh kembali ke rumah.” Suster menemui dokter yang biasanya
menempelkan stetoskop ke dada Rara.
Dokter melebarkan bibirnya, tersenyum “Saya pikir juga
begitu. Kemarin saya periksa dia sudah sehat dan kuat. Mukanya berseri-seri.
Kemarin dia tak henti-henti menunjukkan barisan gigi-giginya kepada saya. Manis
sekali anak itu. Tolong kamu hubungi orang tuanya ya. Sepertinya mereka jarang
sekali menemui anaknya. Sayang sekali.”
LILIS RUSMIA
LILIS RUSMIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar adalah caraku untuk mengendus jejakmu *halah*. Hayo, komentar biar gue bisa ngendus jejakmu! Haha :D