Sabtu,19 Juli 2014
Hari ini tepat 55 hari aku memutuskan untuk menjauh, setelah kegalauan
panjang yang tak henti-hentinya membuat mataku selalu terjaga. Hampir benar-benar
membuatku gila.
Dan kini aku percaya. Betapapun kerasnya aku mencoba membohongi kata hati,
semua itu tak akan bisa. Setebal apapun tabir yang kututupkan pada mata hatiku,
itu tak akan pernah mampu memudarkan bayangmu yang telah lama menetap tanpa ada
kata paksa. Setidaknya untuk saat ini aku belum bisa. Tidak apa-apa. Aku menikmatinya.
Kamu tidak perlu mencemaskanku dan mengalihkan perhatianmu darinya. Hatiku baik-baik
saja. Meskipun nyatanya aku sedang tertatih menahan air mata.
"Bukankah tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima takdir dengan
lapang dada?" Seperti katamu dulu.
60 hari yang lalu, kita baru saja mengecap rasa bahagia. Tapi, terenggut
lagi karena dia. Ah, dia. Wanita yang juga mencintaimu dengan sepenuh hatinya.
Bahkan mungkin, rasa cinta yang kumiliki tak ada apa-apanya dibandingkan dia. Dia
yang selalu berdiri di tengah-tengah kita. Dia yang membuat kita berani
melakukan adegan paling berbahaya. Yaitu, keegoisan yang membuat kita diam-diam
mengungkap rasa. Dan menjalin cerita di atas lengkingan
rintihan luka. Luka hatinya karena kita. Huhhhh—berani-beraninya
kita mencoba menyalakan api yang diselimuti kata bahagia.
Memang...ini
benar-benar takdir Tuhan untuk kita. Aku percaya pada waktu, pada takdir, dan semua akan kembali baik-baik saja.
ᴥᴥᴥ
Senin, 19 Mei 2014
Senja itu kita duduk berdua. Di atas balkon, menatap langit kebiru-biruan
dengan semburat kemerahan, menikmati hembusan angin yang membelai manja wajah
kita, menelan butir-butir kebahagiaan yang tercipta.
“Allan?”
“Ya, sayang?”
Kamu ingat tidak, waktu itu kali pertama kamu memanggilku dengan sebutan
“sayang”, canggung dan malu-malu, tapi aku suka. Entah bagaimana caranya aku
sangat ingin mengabadikan suara panggilanmu, dan mendengarkannya kembali,
ketika rindu diam-diam mulai merambati jiwa. Atau setidaknya, aku punya sesuatu
yang akan membuatku tertidur, ketika aku mulai dijerat insomnia karena sibuk
menghadirkan bayang wajahmu di tengah malam gelap gulita.
“Kok bengong? Kenapa sih, Lis?”
Aku hanya tertawa. Tanpa tahu apa yang menyebabkan tawaku bergema.
Tiba-tiba kamu memegang lenganku kuat, menarik tubuhku, merekatkannya pada tubuhmu,
kaku, mungkin karena itu pelukan pertama. Perlahan, aku melingkarkan kedua
tanganku pada lehermu, mencoba membalas pelukanmu, telapak tanganku menyentuh tubuhmu
yang terbalut kemeja. Hangat, walaupun belum terbiasa. Haha—aku tertawa mengingat pelukan pertama kita.
Lama. Kita berpelukan lama sekali, sampai sebuah suara berdendang di
telinga.
“Alise? Allan?”
“Eh—Winda?
“Kalian ngapain? Oh? Jadi, ini yang kalian lakukan di belakangku?”
Aku bisa merasakan perih goresan luka baru yang tercipta. Aku bisa
merasakan hawa panas yang menyelubungi tubuhnya. Aku bisa melihat sendu yang
menghiasi wajahnya. Wajahnya yang pura-pura bahagia padahal sebenarnya sedang
berduka. Ah, Winda. Jangan anggap aku sahabat lagi, sudah cukup banyak lembar
kebohongan yang selama ini sengaja ku buka.
Lalu, kita hanya membisu, membiarkan udara yang berbicara. Mewakili suasana
hati yang tak mampu dilisankan dalam bentuk kata-kata. Melepaskan
karbondioksida, menghirup oksigen, tapi itu justru membuat sesak, menyiksa. Malam
ini dingin, tapi lain dengan kita. Kita seperti di atas bara. Berdiri mematung
tanpa ada suara. Sampai Winda memutuskan untuk pergi, seiring dengan jatuhnya
air mata. Dan aku berjalan tergesa—mengejarnya. Tapi, kamu tetap bergeming di tempatmu
berdiri, sibuk menenangkan detak jantungmu atau mungkin—kamu sudah tidak peduli
dengan Winda.
Mungkinkah ini takdir Tuhan untuk kita?
“Win?”
“Jadi selama ini kamu khianati aku, Lis? Kamu tahu nggak, Allan itu udah
dijodohin sama aku. Kalau keluargaku dan keluarga Allan tahu kamu dan Allan coba-coba
menjalin hubungan, yang kecewa bukan cuma aku, Lis. Tapi mereka juga merasakan
hal yang sama seperti yang aku rasain. Lagian dari sekian banyak pria yang
mendekati kamu, kenapa harus Allan, Lis? Kenapa? Apa mereka tidak cukup kaya?
Apa mereka tidak cukup pantas berdiri di sampingmu? Lis, Allan itu buat aku.
Bukan buat kamu. Ingat itu!”
“Win, aku...” dan kalimat itu menggantung tak terselesaikan, menguap di
udara.
“Aku capek harus
selalu mengalah buat kamu.” Kali ini aku benar-benar mengungkapkannya—dalam
hati yang tercabik sembilu, berdarah-darah, dan putus asa.
Dan Winda berlalu, seiring dengan keringnya air mata. Mungkin jijik melihat
sahabat yang menghianatinya. Aku menutup mata, menarik nafas dalam dan
menghembuskannya.
Win, kamu ingat nggak, Si Arza yang dulu sewaktu SMA memintaku jadi
pacarnya, tapi aku tolak, karena tahu kamu menyimpan rasa untuknya. Atau gaun
merah yang kuhadiahkan untukmu sewaktu kamu berulang tahun yang ke-17, padahal
aku harus mengencangkan ikat pinggangku 2 bulan untuk bisa membelinya. Aku
memberikannya untukmu, karena tahu kamu juga sangat mendambakannya. Atau anak
OSIS yang memintaku untuk jadi MC sewaktu perayaan ulang tahun sekolah, tapi
aku berbohong tidak bisa hadir hari itu, lalu aku memintamu menggantikanku dan
kamu berjingkat gembira. Semua itu karena aku tak kuat memandang ekspresi anehmu—mungkin
iri, maka aku lebih memilih melepaskannya.
Win, aku juga selalu membawa-bawa namamu saat aku sedang bersama Allan, aku
bercerita tentang kita, tentang kita yang seperti pinang dibelah dua, tentang
kita yang berjanji bersahabat selamanya. Tapi, Allan selalu membuang muka,
mendengus kesal, setiap kali aku bercerita tentang kita, lebih tepatnya tentang
kamu, kamu yang sebentar lagi akan menjadi teman hidupnya.
Jadi, selama kita bersahabat, rasanya aku kan yang banyak mengalah untukmu,
walaupun terkadang aku melakukannya karena terpaksa. Bukan, bukan maksudku
mengungkit-ungkit apa yang terjadi di masa lalu, tapi dada ini terlalu sesak
menahan semuanya.
Kali ini, apa aku harus mengalah lagi, berpura-pura menjadi wanita yang
rela melepaskan apapun untuk sahabatnya, menutup lembaran cerita yang baru saja
terbuka, atau menutup mata dan melupakan segalanya? Mungkin memang harus
seperti itu ya, akhirnya. Ah, Winda. Iya, aku akan berpura-pura rela. Lagi-lagi
mungkinkah ini memang takdir Tuhan untuk kita? Tapi, Win, kenapa sesulit ini
untuk merelakan semuanya?
ᴥᴥᴥ
Kamis,19 Juni 2014
Aku memutar peristiwa yang terjadi 30 hari yang lalu, di sini, di tempat sekarang
aku berada. Berteman kesendirian dan luka. Sebuah tempat yang dihuni orang
gila. Rumah sakit jiwa. Ya, aku memilih berpura-pura gila. Terlalu lelah untuk
mencoba ikhlas dan berdamai dengan rasa kehilangan yang membuat kepingan hatiku
semakin tak berdaya. Aku juga lelah karena melihat orang tuaku kelimpungan
mencari penggantimu setelah mereka tahu kamu akan menikah dengan Winda bulan
depan, hingga akhirnya mereka angkat tangan—menyerah, dan itu semakin membuatku
terluka. Aku juga lelah mendengar suara tangis mamaku, yang berdiri di depan
pintu kamar tidurku, bercampur suara tangis beliau memanggil namaku dengan iba.
“Alise, Mama rindu kamu yang dulu, Nak. Mama rindu kamu yang senang memeluk
mama tiba-tiba. Kita semua rindu kamu yang ceria, Nak. Alise...”
Atau kalimat sederhana seperti ini, “Alise, kamu makan ya, Nak. Nanti kamu
sakit. Mama, suapin ya?”
Atau seperti ini, “Alise, kamu tidak boleh larut dalam kesedihan. Kamu sudah
dewasa, Nak. Sudah waktunya kamu menatap kesedihan itu dan melibasnya. Kamu anak
mama yang kuat, Alise.”
Aku tersiksa dengan itu semua. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk
memainkan skenario yang kuanggap bisa membuatku lega. Aku membanting semua
barang-barang yang ada di kamarku, memecahkan cermin riasku, menggunting semua
baju yang tergantung di almariku, dan mengacak-acak rambutku—sampai hampir
mirip seperti orang gila. Lalu, 5 hari yang lalu, keluargaku dengan berat hati
membawaku ke rumah sakit jiwa.
Sebenarnya, aku juga tidak yakin cara ini akan berhasil membuatku melupakanmu—atau
setidaknya menganggapmu hanyalah cerita lama yang pantas untuk ditimbun dan
tidak lagi dibuka. Tapi setidaknya cara ini berhasil sedikit meringankan
bebanku, aku tidak lagi melihat raut
sedih mama setiap hari, tidak lagi mendengar suara tangis mama yang terdengar
putus asa.
Allan...Aku menyesal, karena tidak memperjuangkan cinta kita. Aku menyesal
karena menulis tiga baris kalimat—memo di smartphone hitamku, yang
menghancurkan harapan untuk kita bisa bersama. Aku dungu karena membiarkan kamu
terluka. Dan aku jahat karena sekarang aku sedang berusaha menutup lembaran
kisah kita.
"Lis, aku dijodohkan dengan Winda. 19 Juli nanti aku akan menikah dengannya. Tapi, aku nggak mau, Lis. Aku sayang kamu, bukan Winda. Aku mau hidup dengan kamu, bukan Winda, Lis."
Aku masih mengingat dengan jelas kata-katamu dulu, kamu memegang tanganku, dan matamu meyakinkanku bahwa kamu bersungguh-sungguh, tapi sekarang, kenyataan ini yang harus kita hadapi bersama.
Allan, mungkin, beberapa hari setelah kamu menikah dengan Winda, kamu akan
merasa tersiksa. Karena kamu belum mencintainya. Kamu boleh membayangkan
wajahku ketika sedang bercumbu dengannya. Anggap saja itu aku, anggap saja yang
sedang tertidur di sampingmu itu aku, anggap saja yang selalu mengecup pipimu
di pagi hari itu aku, anggap saja yang selalu membuatmu tertawa itu aku, tapi
cukup beberapa hari kamu melakukan itu, selanjutnya kamu harus menyadari bahwa
itu Winda. Jangan terlalu lama menyakitinya. Tenang—lama-lama kamu akan
terbiasa. Dan melupakan aku, lalu hidup bahagia dengan Winda selamanya.
"Bukankah tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima takdir dengan lapang dada?" Kamu masih ingat kan?
"Bukankah tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima takdir dengan lapang dada?" Kamu masih ingat kan?
Biarkan aku menikmati penyesalanku, biarkan aku memungut pecahan hatiku,
lalu menyatukannya kembali, hingga aku merasa siap untuk menatap dunia. Aku
tidak keberatan berpura-pura gila, asal aku berhasil menenggelamkan kegelisahanku
karena tak bisa mendengar suaramu yang terngiang di telinga.
Allan, aku masih tetap mencintaimu—mungkin sampai nanti, aku masih tetap akan merindukan suaramu, seperti tanah kering yang merindukan hujan, dan aku berjanji, setelah aku puas berpura-pura gila dan puas menikmati luka, aku akan berbahagia. Secepatnya.
Allan, aku masih tetap mencintaimu—mungkin sampai nanti, aku masih tetap akan merindukan suaramu, seperti tanah kering yang merindukan hujan, dan aku berjanji, setelah aku puas berpura-pura gila dan puas menikmati luka, aku akan berbahagia. Secepatnya.
Ah ya, aku pernah membaca sebuah buku dan menyukai quote yang ada di
dalamnya. Begini, “... Di atas semua
cerita, jodoh bukan cuma soal perasaan.
Semoga Tuhan menyembuhkan semua hati yang terluka.” Cocok untuk kalian
berdua. Allan dan Winda. Allan...berjanjilah untuk belajar mencintai Winda.
Aku percaya semua ini takdir Tuhan dan seperti katamu dulu, "Lis, hidup selalu indah pada waktunya. Dan
Tuhan tak pernah tertidur untuk melupakan mereka yang percaya pada takdirnya.”
ᴥᴥᴥ
Kediri, sedang bahagia. Haha,
hahaha. asyik quote yg terakhirnya... :D
BalasHapusbtw, template blognya baru ya..
haha :D
Hapusiya. udah lama sih.
Keren , kak ! :))
BalasHapusmakasih :3
HapusHaduh, baca ini...
BalasHapus#FreePukPukUntukLilis :')
bukan Lilis bang -_- tapi Alise, bedaaa
HapusDuuuhhhh qoutes-nya itu loh.... :')
BalasHapuskenapa? :D
Hapuskeren lohh lis :')
BalasHapusmakasih mbak :))
Hapuseh kak, boleh tanya nggak?
BalasHapusHeadernya itu bikin sendiri? keren loh
iya, bikin sendiri. lebih tepatnya dibikinin temen :D
HapusGalau banget di awal.. keren pas di akhir Zom.. :))))
BalasHapushihiw makasih :D
HapusTulisannya bagus lis, kenapa gak ikutan acara nulis buku jamban blogger ? JB lagi bikin buku lagi loh? gak ikutan? :)))
BalasHapusmakasih :)
HapusJB temanya horor, gue masih belajar nulis romance :D
ceritanya panjang. Jadi aku tidak baca sampai habis mbah.
BalasHapusiya gpp :) makasih udah nyempetin baca :)
Hapushmm, kalo hasil postingan efek galaunya bisa sepanjang itu, berarti kecewa yang dipendam banyak ya?
BalasHapusiya mungkin hehe
HapusSemakin novel aja nih tulisannya :D
BalasHapusHai, salam kenal. Baru pertama blogwalking udah disuguhin cerita yang menarik. :)
BalasHapussalam kenal juga :)
Hapusgood banget ceritanya :D
BalasHapusmakasih :)
HapusAsik kaan yang lagi bahagia. Kalimat pembukanya lucu euy. :))
BalasHapusmana yang lucu bang? -__-
HapusGue sampai bela-belain untuk bermenit-menit baca ini postingan. Biar lebih ngena lagi, kok keren gitu kata-katanya. :)
BalasHapushehe makasih nof :)
HapusSetelah membaca ceritamu, kini aku percaya *lho lha?
BalasHapushaha dasar obi :D
Hapushaloo baru pertama blogwalking kesini, salam kenal lilis. tulisannya bikin saya jatuh cinta :)) kereenn bangettt ;)
BalasHapushai reny :)
Hapusmakasiiih ya :)
jgn lupa balik lagi :D
wiiih bagus rek... tak kirain kmu di dalam cerita itu..
BalasHapus