“Ris, nanti sore nonton yuk?”
“Ditraktir gak? Haha.” Tawaku bergema.
“Lagi bokek, Ris. Tapi gak apa-apa, deh. Daripada gak ada temennya nonton.
Kelihatan jomblo banget. Haha.”
“Nah, gitu, dong. Jam 5, ya? Lo jemput gue ke rumah, kan?”
“Siap komandan!”
“Ya udah gue pulang dulu, ya.”
“Oke. Hati-hati, ya!”
Dan aku pun melangkahkan kakiku menuju sebuah tempat yang lebih layak
disebut penjara daripada rumah.
ᴥᴥᴥ
“Darimana? Les opo ngluyur jam segini baru pulang? HP-mu itu dibuat apa?
Disms gak dibalas.”
Aku menelan ludah. Lagi-lagi ada sesuatu yang seperti menghimpit saluran
pernapasanku, sesak.
“Kalau ditanya itu dijawab. Jangan mbisu
kayak gitu.”
“Kan tadi aku sudah sms sampean.
Ada tambahan sampai jam 2 siang.”
“Halah! Alasan. Mosok tiap hari
tambahan? Gak usah cari-cari alasan. Aku ini bukan orang goblok!”
“Bu, saya capek. Saya lapar. Kalau Ibu gak percaya ya sudah.”
Tubuhku beranjak dari tempatku berdiri. Meninggalkan ibuku yang masih
berapi-api. Terbakar amarah yang disulutnya sendiri. Sorot mata tajam tak henti
memandangi tubuhku yang beringsut pergi. Pertengkaran seperti inilah yang
terjadi setiap hari di antara kami. Hal kecil yang menggelembung jadi besar,
itulah penyebab semua ini.
Ibuku bukan wanita lemah lembut yang tutur katanya menyejukkan indra
pendengar juga hatiku. Kata-katanya lebih seperti duri yang siap melukai
sanubariku, seperti sembilu yang siap menyayat dinding hatiku, dan seperti awan
cumulusnimbus yang siap memporak-porandakan keyakinan hatiku. Aku sering
bertanya-tanya apakah semua ibu di dunia ini sama seperti ibuku? Apakah cara
semua ibu mendidik anaknya untuk menjadi orang sukses sama seperti cara ibuku?
ᴥᴥᴥ
Aku sibuk menyantap makananku ketika ibuku tiba-tiba datang dengan sorot
mata seperti biasanya, penuh amarah.
“Sek, Ris. Aku tanya, kowe itu sebenarnya mau jadi apa ngambil
jurusan kuliah itu?” Pertanyaan yang sudah puluhan kali dilontarkan ke arahku.
Aku diam saja. Masih tetap menikmati makananku.
“Ris, kowe opo budeg? Kalau
ditanya itu dijawab.”
“Enggak, Bu.”
“Kalau kamu kuliah cuma buat main-main atau nyari ilmu, cari tempat kuliah
yang murah. Sebenarnya mau jadi apa kalau sudah lulus? Pegawai negeri atau
pegawai swasta?”
“Ya jelas saya pilih pegawai negeri, Bu. Mana ada orang mau milih hidup
susah kalo ada yang enak.” Walaupun dalam hati bukan itu jawaban yang
sesungguhnya, tapi paling tidak jawaban itu akan menyenangkan hati ibuku.
“Kalau ngomong sama ibu itu jangan bentak-bentak kayak gitu. Aku ini ibumu
bukan koncomu.”
“Salah lagi, kan? Gimana sih, Bu, caranya biar saya itu benar di mata ibu?”
“Kowe berani bentak-bentak ibu?
Kamu itu anak manusia apa anak setan? Ditanya baik-baik jawabnya malah
bentak-bentak.”
Mataku panas. Kerongkonganku seperti tercekik.
“Jangan nangis, Ris.” Kata hatiku menguatkan diriku sendiri.
“Bu, sampean pengen aku jadi
kayak gimana? Pengen aku jadi apa? Guru? Pegawai? Atau robot?”
“Kowe saiki berani yo sama aku. Dasar! Anak gak punya sopan
santun.”
Kata-kata yang disertai kilatan amarah itu menyambar hatiku. Membangunkan
deretan luka lama yang sudah mati-matian kukubur dalam-dalam. Rasanya aku ingin
berlari dari sini. Pergi sejauh mungkin dan tidak kembali.
Aku terlempar pada kepingan masa lalu sewaktu masih duduk di bangku SD. Aku
kabur ke rumah nenek. Berjalan tergesa diiringi ketakutan karena amarah ibuku.
Sesampai di rumah nenek aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Didera
ketakutan aku menangis terisak-isak. Air mata bercampur ingus membasahi bajuku.
Ketika orang tuaku datang menjemputku, aku menjerit tidak mau pulang. Lalu
terbesit pemikiran, “Bagaimana kalau
nanti ibu jadi gila karena aku nggak mau pulang?” Karena kekhawatiran itu
mengalahkan ketakutanku pada amarah ibuku, keesokan harinya aku meminta nenek
untuk mengantarku pulang. Sekalipun hatiku sudah dipenuhi goresan luka karena
kata-kata ibuku, tapi aku tidak benar-benar mampu meninggalkan ibuku. Jangan
ditanya bagaimana rasanya menahan perihnya luka, sakit.
Dan rasanya, hari ini aku ingin kembali mengulang perbuatanku dulu. Pergi,
tapi tidak kembali. Pundakku sudah tidak kuat menahan beban hati yang seperti
dihimpit batu. Salahkah aku jika memilih pergi? Salahkah aku jika meminta ibu
pengganti? Aku anak durhaka yang tidak mau bersyukur? Apakah aku yang salah?
“Tuhan, saya tahu saya punya
skenario hidup sendiri. Saya juga tahu jika pada akhirnya skenario saya akan
berakhir bahagia. Saya juga tahu bahwa waktu akan terus berjalan dan tidak
pernah berhenti. Tapi,bolehkah saya yang berhenti sejenak untuk mengeluh, untuk
menangis, untuk menghimpun kekuatan baru lagi, bolehkan? Hari ini saya rapuh,
tapi besok saya pasti sudah kembali jadi perempuan kuat. Izinkan saya, Tuhan.
Maaf hari ini saya cengeng sekali, sok-sok-an paling menderita, sok-sok-an jadi
manusia yang cobaannya paling berat sendiri, maafkan saya, Tuhan. Maafkan saya
jika saya lebih sering seperti ini, maaf.”
“Ndang bersih-bersih rumah kono. Anak kok gak tau penggawean. Kerjanya males-malesan. Coba
kalo aku iki gak ngomel-ngomel kayak
gini, palingan kamu cuma makan, tidur, makan, tidur. ”
“Ya, Bu.” Aku menjawab singkat, telingaku sudah panas.
ᴥᴥᴥ
Aku memandang bayanganku
yang terpantul dalam cermin. Kemudian, aku mengambil body lotion dan mengusapkannya pada tanganku. Kudekap tubuhku.
Tiba-tiba aku merasa rapuh dan lemah.
Lalu terdengar suara pintu diketuk. Aku menggelengkan kepalaku, lalu keluar
dari kamarku menuju ke arah pintu utama.
“Eh, Hani. Masuk, Han.”
“Udah siap? Langsung cabut, yuk!”
“Bentar, gue ambil tas dulu, ya.”
Aku berlari meninggalkan Hani yang belum sempat kupersilahkan masuk.
“Mau kemana?”
“Keluar.” Aku menjawab singkat. Aroma tidak diizinkan keluar oleh ibuku
mulai tercium.
“Halah. Gak usah. Kowe iku koyok gak
krasan neng omah ae. Ora usah.”
Nah! Benar kan.
“Udah ditunggu Hani, Bu. Lagian aku itu mau refreshing. Capek belajar terus.”
“Loh, dibilangi gak usah ya gak usah. Nonton TV kui yo refreshing. Gak usah aneh-aneh kamu. Belajar ae, daripada dolan ngabisin duit.”
Kubalikkan badanku, tidak peduli dengan ibuku yang masih menghujaniku
dengan tatapan tajamnya.
“HEH! MAU KEMANA KAMU? BERANI SAMA ORANG TUA!”
Berani? Sebenarnya saya takut, Bu. Saya selalu diliputi ketakutan disebut
sebagai anak durhaka yang tidak tahu terima kasih, karena itu saya bertahan
disini. Tapi, entah kenapa sebagian hati kecilku kali ini berusaha melawan.
Mungkin karena tidak sanggup lagi bertahan.
Jika saja sebelum dilahirkan ke dunia, Tuhan memberi kesempatan untuk
memilih orang tua yang sesuai dengan keinginanku, maka saya akan memilih orang
tua seperti Bu Ayu, tetangga kita itu. Tapi, kemudian saya tersadar. Bahwa,
Tuhan menitipkan saya pada rahimmu karena Tuhan tahu, Ibu adalah yang terbaik
untukku.
Tapi, Bu, jangan perlakukanku seperti robot. Saya bukan pantulan bayangan Ibu
ketika bercermin. Saya adalah saya. Sekalipun saya adalah anakmu, tapi bukan
berarti saya harus seperti bulan yang terus mengitari bumi. Saya berhak
mandiri. Saya berhak menciptakan lintasan orbit sukses saya sendiri. Tentu dengan
dorongan dan semangat dari Ibu. Saya bukan apa-apa tanpa Ibu. Saya sadar, saya
tahu.
Saya adalah anak panah yang berhak menentukan arah, kemana saya harus
melesat. Tentu saya tetap membutuhkan busur panah, dan busur itu adalah Ibu.
Bu, jangan seperti diktator. Yang tidak pernah mau tahu tentang keinginan saya,
tentang cita-cita saya, tentang apa yang saya suka dan apa yang tidak saya
suka. Sungguh, saya tidak pernah suka dipaksa, Bu. Apalagi disama-samakan
seperti bayangan ibu.
Bu, haruskah seorang ibu bertindak seperti diktator untuk melihat anaknya
sukses? Tidak bisakah kita duduk berdua saling berhadapan, membicarakan masa
depan dengan lemah lembut dan penuh senyuman? Bukan dengan amarah dan tatapan
tajam yang menusuk? Yang membuat nyali saya menciut, yang membuat kepala saya
dibakar pemikiran-pemikiran jahat tentang ibu. Bu, saya sayang ibu, walaupun
terkadang saya tidak sengaja terasuki rasa benci. Maaf, Bu.
ᴥᴥᴥ
Kediri, malam hari H+2 SBMPTN.
Terinspirasi dari seseorang.
Paling suka kalimat yang ini "Saya berhak mandiri. Saya berhak menciptakan lintasan orbit sukses saya sendiri"
BalasHapusBtw, ini cerita pengalaman pribadi atau bukan?
makasih, iqbal :)
Hapuspengalaman orang banyak sih hehe
Wah, spechless.
BalasHapusTerus ngomong-ngomong itu anaknya jadi nonton gak?
*komen nya nyasar kemanaaa... lagi :3
hehe makasih :)
Hapusjadi, kan dia ninggalin ibunya yg lagi ngomel-ngomel :D
Salut banget sama sang anak :)
BalasHapusSetiap ibu punya cara sendiri untuk menyampaikan rasa sayang walaupun terkadang kita kurang bisa menerima caranya :)
iya setuju :)
Hapusnamanya juga manusia, dikasih begini mintanya begitu :D
Ibu yang kayak gitu pasti punya latar belakang kehidupan yang sesuatu, ingin anaknya baik tapi mungkin caranya belum baik... eh itu kayak ibu gua yang kedua, *halah
BalasHapusecie curhat dia :p
HapusIni..pernah sih ngalamin ini, tapi gak separah kayak gini :)) serba salah emang, tapi komentarnya restu ada benarnya juga hehehe.
BalasHapusiyakah? waah :)
Hapussetuju sama komentarnya Restu kok :')
Kalo gue yang kayak gitu bokap, bener banget persis kayak gitu. tapi selalu ada ibu yang ngebela :')
BalasHapussemangat ya! ^^
Hapusmereka sayang kamu kok :)
Bookmarked! nanti dibaca:3
BalasHapusmakasih udah bookmark :)
Hapusgue gak tahu mau komentar apah... karena seringkali baik ibu dan anak bisa saja benar dan bisa saja salah... seperti seorang anak yang berjuang menentukan orbitnya mencari ilmu ke tempat jauh dan ibunya tidak ikhlas dan berkata ankanya akan memperoleh musibah, walhasil di akhir sang anak kembali setelah tubuhnya dalam keadaan cacat, dan sang ibu juga tidak bisa merawat karena usia tua dan sakit-sakitan. memang, sepertinya merundingkan bersama agar bisa memahami hati ke hati adalah pilihan. karena meskipun kita anak panah yang bebas melesat, ada busur yang harus meridhoi kita unyuk melesat.
BalasHapusnah iya, memang bicara berdua tanpa melibatkan amarah memang merupakan jalan terbaik :)
Hapusunyuk itu apa, bang? :p typo, tuh :p
setuju kok, bang :))
setiap ibu emang punya cara sendiri dalam mendidik anaknya mungkin beberapa cara dianggap sang anak lebay dan ga masuk akal. tapi yakinlah apapun itu beliau tetap ibu kita yang harus kita sayang dan hargai meskipun itu ga mudah untuk dilakukan. btw good story aku suka tulisan mu mba :)
BalasHapusiya, mbak setuju :) apapun yang terjadi beliau tetap ibu kita :)
Hapusmakasih, mbak :)
Pas baca postinganmu yang ini, tiba2 gue ketawa2 sendiri padahal dunia tau ini g lucu. Nangis2 sendiri, soalnya g ada yg nemenin makanya nangisnya sendiri :'(
BalasHapusSmangat buat lilis. Nulis udah, saatnya buat ngomong!
dasar santi labil :p
Hapusngomong apa, San? -_-
persis banget :(
BalasHapus