Aku kembali menatap langit biru dengan saputan awan. Mentari tersenyum,
gagah bertengger. Sudah satu jam aku menunggu di sini. Petugas kebersihan sibuk
mengayunkan gagang sapu sumber rejekinya. Jalanan mulai ramai lalu lalang
kendaraan. Debu beterbangan. Klakson kendaraan memekakkan telinga. Tapi aku
kesepian.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Oh Tuhan, aku lupa.” Dan aku berlari,
cepat menelusuri jalanan rumahku.
“Dimana kamu? Kenapa aku jadi pelupa begini? Tidak. Jangan-jangan? Ah,
tidak mungkin.”
Aku sibuk bertanya pada diriku sendiri, mengobrak-abrik isi almari, tempat
peralatan mandi, sampai rak sepatu. Tapi, belum juga ketemu.
“Oh, tidak. Aku tidak akan kemana-mana sampai dia kutemukan. Aku tidak bisa
pergi tanpa dia. TIDAK BISAAAAA.” Aku berteriak kalap. Menangis, jatuh
tertunduk di depan rak sepatu.
“Cukup satu yang pergi dan tidak kembali. Cukup. Kamu jangan pergi.” Isak
tangisku semakin keras terdengar. Miris. Tidak akan ada yang terganggu dengan
suara tangisku, aku sendirian.
Dimana letak surga itu, biar
kugantikan tempatmu denganku...
“Hallo?”
“Hallo, Sha. Kamu dimana?”
“Maaf, Vin. Tadi aku balik ke rumah. Ada yang ketinggalan.”
“Kamu cepet ke sini. Aku udah nunggu dari tadi.”
“Kamu berangkat duluan aja deh, Vin.”
“Kamu gimana sih, tahu gitu aku gak usah capek-capek nunggu kamu.”
“Maaf, ya Vin.”
Tut tut tuuuut. Sambungan diputus oleh Vina.
Aku kembali bergumam, “Kamu dimana?”
Mataku pelan mulai membasah lagi. Satu bulir air merekah, menggelayut di
pelupuk mataku. Siap meluncur di tebing pipiku. Sempurna, kenangan lama itu
kembali mengaduk-aduk perasaanku. Menggelegar bagai petir yang membuat hatiku
kembali berawan. Aku yang sebulan ini mulai ceria, sempurna kembali menjadi
perempuan berkabut kesedihan.
ᴥᴥᴥ
Malam itu aku menunggumu di depan gang rumahku. Katamu kamu akan datang,
mengajakku pergi ke suatu tempat yang kamu tak mau memberitahukannya. Aku
menurut saja, tidak banyak tanya.
“Kamu tunggu aku, ya. Jam lima aku
datang jemput kamu. Jangan lupa.”
“Kita mau kemana? Nonton? Beli buku?”
“Rahasia. Haha. Surprise buat kamu.”
“Rahasia? Ya udah aku nurut aja.”
Kamu tidak datang malam itu. Setelah berjam-jam aku menatap jalanan. Sampai
langit indah bertabur bintang gemintang lenyap terganti awan hitam, kamu tak
kunjung datang. Sampai pasukan air hujan menyerbu dan sampai alam kembali
terang, kamu tak kunjung datang. Sampai aku lelah, kedinginan, mengantuk, dan
akhirnya menyerah. Kembali pulang, menyusuri jalanan rumah dengan kepang rambut
menggelayut lemah di sela-sela telinga, beberapa menutup wajahku yang pucat
menggigil.
“Dimas dimana?”
Berkali-kali aku menggumam kalimat itu, tapi sampai esok hari kamu tak
kunjung datang. Aku hanya menemukan sebuah kotak merah di meja depan rumahku,
dengan sebuah cincin permata anggun terkurung di dalam sana. Dan secarik kertas
berisi permintaan maaf serta ucapan perpisahanmu. Kamu pergi dan tidak kembali.
Semua teramat cepat dan tak terduga.
ᴥᴥᴥ
Aku berjalan tergesa menuju kamar mandi.
“Ya Tuhan terima kasih.”, aku mencium cincin permata pemberian darinya yang
ternyata tertinggal di samping bak mandiku.
“Jangan pergi, cukup dia saja yang pergi. Kamu satu-satunya yang kupunya,
satu-satunya harapan yang akan menyembuhkan kerinduanku padanya. Satu-satunya
mentari yang akan mengeringkan basah hujan kerinduanku padanya. Satu-satunya
pelangi yang akan mengganti gelayut mendung kerinduanku padanya. Jangan pergi,
kamu begitu berarti untukku—bahkan sampai aku mati menemui Dimas.”
HAHAHA asem! Endingnya aku pengen nangiiissss Lis. Flash fiction, ceritanya singkat, tapi sukses bikin hatiku ikut teriris.
BalasHapusBtw, kenapa si Dimas pergi? Ke mana? Kenapa? Kenapa dia pergi dan cuma meninggalkan cincin? Jahat :(
hwaaaaah, mbak dwi ekspresif banget euyyyy.
Hapushaha. dia pergi dan tidak kembali mbak ;") huhuhu
mencari surga untuk bisa menggantikan tempatnya.....luarbiasa ini kisahnya....
BalasHapuskeep happy blogging always...salam dari Makassar :-)
makasih. salam dr kediri ;')
HapusNice story nih :)
BalasHapustrimakasih :)))
HapusAku gak pergi kok wahahahaha...... -_- keren tulisannya menyentuh sekali :)
BalasHapushaha trimakasih :)))
HapusBisa aja nih mba lilis...
BalasHapusCincinnya lebih penting, Nice story..
Salam kenal
hehe iya.
Hapustrimakasih salam kenal juga :')
Dimas nggak pergi. Dimas itu temenku. Dia ada di rumahnya sekarang.
BalasHapushalah lo mah ngaco mulu -___-
HapusHiyaaa... endingnya :((
BalasHapusJangan pergi dong Dimas..
yah sayangnya Dimas terlanjur pergi :'))
Hapus