“IBU, AKU LULUUUUUUUUS!”
Aku menghampiri anakku yang berlari dan berteriak girang ke arahku.
Menyambutnya dengan senyum termanisku, “Benarkah, Nak? Alhamdulillah. Ibu
bangga padamu.”
“Iya, Bu. Fika dapat nilai 36,70. Fika masuk 20 besar, Bu.”, matanya
berbinar, memancarkan kebahagiaan yang merambati tubuhku. Aku bangga dengan
anakku. Bangga pada anakku yang selalu membuat semangatku terpacu. Bangga pada
anakku yang tidak pernah malu. Malu mengakui bahwa akulah ibunya, ibu yang
melahirkan dan merawatnya sampai menjadi seorang anak yang lucu.
“Bu, kata ibu kemarin kalau Fika sudah lulus SMA, Fika boleh meminta
sesuatu, kan?”
“Iya, Nak. Kamu mau minta apa?”
“Aku mau makan ayam panggang restoran seperti dulu, Bu.”
Aku menelan ludahku dan terdiam cukup lama, “Iya, Nak. Ibu akan membelikan
itu untukmu.”
Aku memandangi anakku, mengelus pundaknya, dan terus memandanginya, sampai
tersadar bahwa dia memang sudah dewasa, bukan anak perempuan kecil yang lugu. Samar-samar
sebuah senyum menghiasi wajahku.
“Ah Fikaku, rasa cinta ibu tidak pernah terhitung untukmu. Cinta ibu
kepadamu terasa nyata dalam hatimu, walau tak selalu ibu mampu mengungkapkan
itu. Rasa bangga ibu kepadamu telah memenuhi rongga hati ibu. Fikaku, hanya
kamu yang mampu membuat ibu merasa kuat, di saat hidup benar-benar terasa berat
dipikul di pundak ibu. Hanya kamu yang mampu menerangi jalan ibu, di saat
kegelapan tak lagi dapat ditaklukkan lampu. Hanya kamu yang mampu mengobati sakit
ibu, di saat semua jenis obat warung menyerah tak mampu. Fikaku, hanya kamu
yang mampu mengokohkan kebahagiaan ibu yang tertunduk layu. Fikaku, ibu sayang
padamu.”, aku hanya mengungkapkan semua rasa cinta dan banggaku padanya dalam
hatiku. Tak selalu benar-benar berani mengucapkan itu lewat mulutku.
“Bu....Bu..... Ibu kenapa, sih? Kok melamun?”
Tangannya mengguncang tubuhku. Tangannya ternyata sudah bertambah besar,
tidak mungil lagi seperti 11 tahun yang lalu. Saat pertama kali kugandeng menuju
sebuah sekolah elit di daerah Jongbiru. Kami dulu orang kaya, banyak harta, dan
rumah dimana-mana, tapi itu dulu. Sebelum kebangkrutan dan kemlaratan menimpa
keluargaku. Semua rumahku habis terjual untuk membayar hutang suamiku. Mobil,
emas, berlian, dan semua hartaku habis tak menyisakan rupa untukku. Semua
peristiwa itu seperti api, api yang membakar semangat hidupku menjadi abu.
Dan sekarang inilah kehidupanku. Jika dulu, kami tinggal di komplek
perumahan elit, dengan rumah mewah dan megah, sekarang kami tinggal di bantaran
sungai, dengan rumah yang kumuh dan penuh debu. Jika dulu, kami dengan mudahnya
menghambur-hamburkan uang hanya untuk membeli baju, sekarang untuk memberi uang
saku Fika saja aku harus berkeliling menjajakan minuman di terminal terlebih
dahulu. Jika dulu, setiap hari aku melihat suamiku berjudi, sekarang sudah tak
pernah lagi, dia sudah mati, mati bunuh diri dengan minum racun tikus murahan di
samping perahu. Jika dulu, setiap ada koleksi berlian baru, langsung buru-buru
kugesek ATM-ku, sekarang untuk makan setiap hari, terkadang aku harus memulung
terlebih dahulu, jika memang minuman yang kujajakan tak ada yang laku.
Betapa terasa berat kehidupanku sekarang, berbanding terbalik dengan
kehidupanku dulu. Kehidupan yang harus kulewati walau banyak nyamuk menjelma jadi
kupu-kupu. Nyamuk yang setiap hari menyesap darahku, darah yang menghidupkanku.
Hingga akhirnya aku jadi wanita tua yang sayu. Tapi lama-lama nyamuk malah
kuanggap kupu-kupu, aku telah terbiasa dan menerima semua itu. Memang inilah
hidup, terus berputar bagai roda, bisa terjatuh, terbalik, bisa di atas, bisa
di bawah, benar-benar telah kusadari walau pilu.
Jika bukan karena Fika, aku pasti sudah menyerah tak mampu. Menyerah pada
waktu. Atau meminta Tuhan mencabut paksa nyawaku. Memang aku ini wanita dungu.
Tidak sadar bahwa ada malaikat kecil yang setia menemani setiap langkahku.
“BUUUUUUU! Ibu kenapa melamun terus, sih? BUUUU!”
Fika berkali-kali mengguncang tubuhku. Aku gelagapan, mukaku merah bersemu
malu. Malu ketahuan habis melamunkan masa lalu.
“Iya, Nak. Ibu tidak apa-apa. Ibu berangkat dulu ya, mau membelikan kamu
ayam panggang restoran.”, aku tersenyum kaku.
“Fika ikut ya, Bu?”
“Tidak usah. Kamu di rumah saja, istirahat.”, aku bergegas mengambil
minuman daganganku.
“Semoga dagangannya laris manis ya, Bu.”
“Iya, sayang.”, aku melambaikan tanganku.
ᴥᴥᴥ
“Ya Tuhan, kenapa hari ini sepi sekali?”, aku mendongakkan kepalaku menatap
langit yang sedikit mendung kelabu. Aku menyeka keringat yang meleleh di
pelipisku.
“MINUMAN DINGIN, MINUMAN DINGIN, SPRIT, FANTA, COCA-COLA, SUSU KEDELAI,
LIMA RIBU, LIMA RIBU.”, aku terus menjajakan daganganku kesana-kemari, menawarkannya
pada setiap orang yang kujumpai di Terminal Baru.
“Bu, coli-coli tiga, finti satu.”, seorang perempuan menghampiriku.
“Ah, iya, Mbak.”, aku buru-buru mengambilkan minuman pesanannya, rejeki
untukku.
“Ini, Mbak. Dua puluh ribu.”
“Trimakasih.”, dia menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan dan berlalu.
Kuusapkan kedua tanganku pada mukaku sebagai wujud syukurku sembari
berkata, “Alhamdulillah.”
Kulangkahkan kakiku, keluar dari pelataran Terminal Baru dan berbelok ke
selatan menuju sebuah restoran, restoran milik temanku dulu. Sampai disana aku
malah terdiam kaku di depan pintu masuk, memandangi pakaianku.
“Jika saja aku masih jadi orang kaya, rasanya pantas saja aku masuk ke
restoran itu, tapi sekarang aku sudah mlarat, sepertinya sudah tak pantas
kesitu.”, aku bergumam, berdiri mematung di depan pintu. Tapi kemudian aku
teringat wajah Fika dan matanya yang berbinar ketika mengucapkan keinginannya
itu. Dan akupun menyerah, akhirnya kupaksa kedua kaki yang menopang tubuhku
untuk melangkah memasuki pintu kaca bertuliskan “Restoran Dapur Ibu”.
Masih beberapa langkah, seorang lelaki berpakaian putih hitam
menghampiriku. Aku menghentikan langkahku dan memandangi pengunjung restoran
yang duduk bertebaran di kursi-kursi kayu.
“Maaf. Pengemis dilarang masuk.”, laki-laki itu berbicara ke arahku. Raut
mukanya mengingatkanku pada raut kesombonganku dulu.
Aku menundukkan pandangan mataku, menahan rasa sakit yang menyelinap dalam
dadaku, “Saya bukan pengemis, Pak. Saya hendak membeli sebungkus ayam panggang
disini.”
“Oh, maaf, Bu. Saya kira ibu pengemis, karena pakaian ibu compang-camping. Saya
ambilkan pesanan ibu dulu.Silahkan duduk.”, dia tersenyum kaku, rautnya berubah
malu.
Aku mengangguk sebagai jawabanku. Dan duduk di kursi kayu untuk menunggu.
Sesekali kulirik kiri kanan dan kemudian menundukkan mukaku. Aku merasa semakin
gerah berada disini, tidak seperti dulu. Mungkin sekarang raut mukaku lebih
mirip seperti pencuri yang dulu melancarkan aksinya di rumah Pak Jono, orang
yang dianggap paling kaya di kampungku.
“Bu, ini pesanannya. Tiga puluh ribu total semuanya.”
Aku menghitung lembaran uang yang kutarik dari saku bajuku dan
menyerahkannya pada pelayan laki-laki yang mengantar pesananku.
“Trimakasih. Sekali lagi kami mohon maaf, Bu.”
Aku hanya tersenyum mendengar itu dan melangkah pergi meninggalkan pelayan
yang masih berdiri menungguku sampai berlalu.
ᴥᴥᴥ
“Assalamualaikum. FIKAAAA. Ini ayam panggang kesukaanmu.”
“IBUUUUUU. MANA, BU?”, kulihat anakku bersorak kegirangan, menepis rasa
sakit yang masih menyelimuti hatiku.
Aku menyodorkan sekotak ayam panggang kesukaannya dulu. Ya, dulu saat kami
masih banyak uang untuk membeli apapun yang mata kami tuju. Dan seingatku,
inilah pertama kalinya kubelikan ayam panggang untuknya setelah sepuluh tahun
kemlaratan membelengguku. Menyaksikan Fika dengan lahap mengoyak daging ayam
panggang yang kubawa, betapa pilu hatiku. Rasanya, “Ibu macam apa aku ini?
Membelikan makanan enak untuk anaknya saja tak mampu.”
Lamunanku terpecah, “Ibu mau? Fika suapin ya, Bu?”
“Ibu sudah kenyang. Kamu habiskan saja.”, sesungguhnya perutku sudah
berdendang minta diisi, tapi kutahan saja, aku sudah kenyang menyaksikan
kebahagiaan anakku.
Kulihat dia menjilati tangannya yang belepotan bumbu. Aku ikut menelan air
liurku. Sudah tak tahan menahan gejolak perut laparku, aku beranjak
meninggalkan Fika menuju warung untuk membeli kue bolu. Kue ini murah, hanya
lima ratus rupiah dan cukup satu buah untuk membungkam rasa laparku.
Setelah kembali ke rumah, aku masih melihat Fika menghadap kotak kardus
berwarna putih abu-abu. Kotak itu dijilatinya sampai tak tersisa bekas
bumbunya, pecahlah air mataku, pilu.
“Ibu? Ibu kenapa menangis?”
Air mataku terus mengaliri tebing pipiku. Mulut kupaksa mengucapkan kata
untuk menjawab pertanyaan anakku.
“Maafkan aku, Nak. Ibu tidak bisa membahagiakan kamu.”
“Ibu kenapa bilang seperti itu? Aku bahagia karena selalu bersama ibu.”
“Apa kamu tidak malu punya ibu seperti ibu ini, Nak? Ibu yang tak punya
harta, tak bisa membelikanmu barang-barang mewah seperti yang teman-temanmu
punya. Bahkan memberimu uang saku saja ibu tak selalu bisa.”
“Bu, bagiku bukan materi yang bisa membuatku bahagia, ibu ingat ketika kita
masih kaya seperti dulu? Apa kita benar-benar merasakan apa itu arti bahagia?
Tidak kan, Bu? Kita seperti disetir oleh uang, bernyawa jika ada uang, seperti
mayat hidup jika sedang tak punya uang. Memang sekarang kita mlarat, hidup
tidak berkecukupan, tidak bisa pergi ke mall, beli baju, perhiasan, tidak bisa
naik motor, bahkan sepeda ontel pun tak punya, tapi Fika merasakan sesuatu yang
lebih berharga daripada itu semua, Bu. Kehangatan, keintiman, dan rasa sayang
yang tidak selalu ibu ungkapkan secara nyata tapi selalu terasa. Fika juga
tidak pernah malu punya ibu seperti ibu, bagiku ibu adalah wanita luar biasa
yang harus kubahagiakan.”
“Karena itu Fika berjuang untuk bisa sekolah di sekolah favorit dan dapat
beasiswa. Fika tidak malu jika harus menjadi murid paling miskin di sekolah
Fika, karena disana kita semua sama. Sama-sama menuntut ilmu. Bukan untuk pamer
kekayaan. Ya, walaupun disana Fika tidak punya teman dan selalu dihina karena
tak punya harta. Fika bisa saja berpura-pura kaya, seperti yang teman-teman
Fika lakukan, tapi buat apa? Fika ikhlas, semua untuk ibu. Fika yakin jika Fika
bersungguh-sungguh, Fika akan dijemput kesuksesan. Fika hanya butuh berjuang
dan selalu ditemani ibu. Hanya itu, Bu.”
Sungguh ini lebih mengharukan dari apapun yang pernah aku rasakan sepanjang
hidupku. Aku memeluknya, “Nak, ibu bangga padamu. Ibu sangat menyayangimu. Ibu
rela mati untuk melihatmu sukses dijalanmu.”
Kami berpelukan, sesenggukan, dihimpit suasana haru.
Ini fiksi apa nyata ya?
BalasHapusfiksi -_-
Hapusfiksi -_-
Hapusuhuuu... *pelukguling*
BalasHapuskalo kata adik gua yang masih SD, "Itulah kehidupan"
cieee adiknya masih SD, ciee :p
HapusMeski fiksi, ceritanya menarik sekali Mbak. Namun demikian, saya juga yakin cerita ini juga ada dalam kehidupan nyata
BalasHapusiya, ini terinspirasi dr kehidupan nyata kok, ya walaupun bukan saya :)
Hapusgilaaa keren banget ini ceritanya. jujur, gue sampek tersentuh membacanya. lo keren banget bisa bikin cerita fiksi yan menyentuh banget kayak gini.
BalasHapusmemang kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan uang yang banyak, bisa makan enak, dll. tapi kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika kita bersama-sama dengan orang yang kita sayang.
postingan lo kali ini berhasil nyadarin gue betapa besarnya perjuangan seorang ibu demi melihat anaknya sukses. duuh emak mana emak?
haha makasih. ini belum keren loh, masih belajar.
Hapusiya betul. uang bukan tolak ukur kebahagiaan :)
ceritanya dalem gitu.. mungkin kalau gue bisa nangis gue nangis dan ikutan peluk guling kayak diatas :D
BalasHapusnangis aja lagi, kalo pengen nangis :p
HapusIni pas banget kalo bacanya sambil dengerin lagu Iwan Fals - Ibu. Daleeeeeemmm :')
BalasHapusuuuuuuu, iyaa :')
HapusHuwaah bagus! Tinggal perbaiki tanda bacanya aja nih > “Trimakasih.”, dia menyodorkan.... setelah kutip jangan pakai koma, jadi tanda titik sebelum tanda petik itu yang diganti tanda koma :)
BalasHapusiyaa, makasih sarannya :))
Hapus