Aku terbangun di tempat yang sama. Tempat yang menciptakan rasa bosan dan perlahan-lahan mulai menyiksa dengan kejam lewat kesepian. Aku menguap, menutup mulut dengan tangan. Menyingkap gorden warna biru laut yang berada di samping tempat tidurku yang agak berantakan. Mencoba menelan kembali rasa bosan dan kesepian yang membuatku hampir mengumpat kesetanan. Menggantinya dengan ucapan syukur, karena Tuhan masih berbaik hati menyelamatkanku dari kecelakaan maut yang mematikan. Ah ya, aku memang harus lebih banyak bersyukur pada Tuhan.
Kudengar suara langkah kaki, kutebak pasti itu suster yang biasa merawatku. Sepertinya aku mulai suka dengannya, perlahan sosoknya diam-diam mulai mencuri hatiku. Aku suka bagaimana cara dia tersenyum, tertawa memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya dan hidungnya yang merona kemerahan setiap kali kusapa namanya dengan dinamika lembut suaraku.
"Suster Diana...."
Hanya dengan kusapa seperti itu, hidungnya akan merona. Dia akan tersenyum samar-samar, melihatku dengan malu-malu, dan membalas sapaanku sambil berusaha menengadahkan muka.
"Ya, Farid. Ada yang bisa saya bantu?"
"Tidak. Aku hanya ingin melihat senyum Suster.", aku tertawa menggoda.
Dan dia akan semakin salah tingkah, keringatnya tiba-tiba meleleh turun. Dia akan berpura-pura membetulkan bajunya atau jilbabnya yang jelas-jelas sudah sangat rapi tanpa kusut sedikit pun.
"Farid, kata Dokter Sutejo hari ini kamu sudah boleh pulang. Mau kubantu membereskan barang-barang?"
"Oh ya, saya hampir lupa. Kami sudah menemukan alamat rumahmu. Dan sudah menghubungi keluargamu. Sebentar lagi mereka akan datang kesini.", Suster Diana menambahkan.
"Ah ya?", tanyaku menggantung dengan nada kecewa karena itu berarti aku tidak akan bertemu Suster Diana lagi.
"Iya, Farid. Mari kubantu membereskan barang-barangmu.", senyumnya mengembang. Membuat kekecewaanku tadi perlahan hilang. Berganti awan berbentuk kembang-kembang. Aku serasa ingin terbang, Tuhan.
"Suster?"
"Ya?"
"Bolehkan nanti aku berkunjung ke rumahmu?"
Suster Diana mengulum senyum, "Silahkan, Farid. Tapi, tentunya setelah kamu benar-benar sembuh."
Aku girang bukan kepalang. Ibarat anak kecil yang mendapat mainan yang didamba-dambakannya setelah sekian lama hanya memandang sosoknya yang dipajang.
JJJ
"Farid, buka pintunya! Ada surat buat kamu, nak."
Aku melonjak dari tempat tidurku dan membuka pintu kamar tidurku.
"Surat? Dari siapa, Ma?"
"Mama juga tidak tahu. Ini!", Mama menyerahkan sebuah amplop dan meninggalkan aku yang termangu memandangi amplop berperangko itu. Aku mengeja sebuah alamat yang tertera disana, sebuah alamat yang aku tidak tahu.
"Siapa, ya?", aku menggumam.
Kurobek kepala amplop itu dan kubuka lipatan kertasnya. Kubaca pelan-pelan sambil sesekali memicingkan mata. "Siapa gerangan pengirim surat ini. Aku seperti pernah merasa dekat dengannya. Caranya merangkai kata, bentuk tulisan tangannya, dan bakpau, hujan, ahhhh siapa dia?", aku mencoba menggali ingatanku yang hilang berceceran pada saat kecelakaan. Tiba-tiba kepalaku sakit, aku memijat lembut kepalaku dengan tangan. "Siapa dia? Siapa?", hatiku diliputi rasa penasaran yang meminta jawaban.
Sekelebat bayangan perempuan, pecahan kejadian-kejadian, kepingan peristiwa, semakin membuat kepalaku terasa berat. Sakit, mukaku memucat. Kumasukkan surat itu ke dalam laci meja di samping tempat tidurku dan kuputuskan untuk berbaring, kepalaku sudah tak kuat.
JJJ
Sehari setelah menerima surat itu, aku menelpon Suster Diana. Mengajaknya makan malam di sebuah restoran tak jauh dari komplek rumahku yang berada di tengah kota. Aku belum berani bepergian jauh dari rumah. Aku takut tersasar dan tidak menemukan jalan pulang, aku takut kehilangan langkah.
"Suster, kemarin aku menerima sebuah surat. Tapi aku belum berhasil mengingat-ingat siapa gerangan pengirim surat itu. Aku takut itu hanya sebuah surat iseng untuk mempermainkanku."
"Ah Farid, jangan berpikir seperti itu dulu. Coba berusaha untuk mengingatnya lagi. Siapa tahu pengirim surat itu adalah sahabatmu atau kekasihmu."
Kekasih? Aku tersentak, menggumam lirih. Kekasih? Di akhir surat itu tertulis "Perempuan yang dulu dan sampai sekarang kamu buat jatuh hati kepadamu", apa benar dia kekasihku yang tidak sengaja terlupakan dari memori? Jika memang kekasihku, kenapa Mama tidak mengenalinya? Aku sibuk bertanya pada diriku sendiri. Sampai kusadari Suster Diana menatapku dengan mata membulat dan tangan yang digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri.
Aku tersenyum malu dan memandang Suster Diana dengan tatapan menggoda seperti yang kulakukan saat dirawat olehnya dulu. Kemudian aku meminta izin padanya untuk pergi ke toilet, tapi nyatanya aku tidak benar-benar ke toilet. Aku maju ke depan sebuah panggung kecil dan membisikkan sesuatu pada pianist yang duduk di sampingku. Musik mulai mengalun dan aku menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu yang mewakili perasaanku saat itu.
"I love you, Suster Diana.", aku menghampirinya. Seperti dulu, wajahnya tetap saja merah merona dan aku masih saja tetap menyukainya.
Tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan berat. Microphone yang kubawa terjatuh dan tergeletak di lantai, mendengungkan suara yang memekikkan telinga dengan hebat. Sementara pengunjung lain melihat ke meja kami berdua dengan tatapan bingung dan kaget.
"Farid, kamu sakit? Kita pulang saja, ya?", Suster Diana ikut berjongkok di sampingku.
Aku menjawab dengan anggukan. Dan memanggil pelayan untuk meminta bon. Kutinggalkan tiga lembar uang seratusan dan ku gandeng tangan Suster Diana.
Setelah menemani Suster Diana menunggu taksi, aku mengendarai sepeda motor maticku dan pulang ke rumah dengan perasaan berbunga-bunga. Aku menatap langit yang dihiasi bintang-bintang yang tertutup mendung hitam serta bulan yang belum sempurna membulatkan tubuhnya. Tiba-tiba pikiranku teringat lagi dengan surat yang kuterima sehari yang lalu, pengirim tanpa nama yang aku belum tahu siapa.
JJJ
"Windyyyyyyyy!", aku berteriak dan tanganku tidak berhenti memukul pintu kamar adikku.
"Windy, buka pintunya! Mbak Diana mau ceritaaaaaaa.", aku berteriak lagi dengan nada tidak sabar.
Kraaaaaak.
"Aduh, Mbak. Ada apa sih teriak-teriak? Mbak tahu kan sekarang lagi hujan dan tidur saat hujan itu adalah salah satu surga dunia.", Windy memajukan mulutnya. Baju motif beruang warna pink dan rambut yang mirip orang kesetrum, berantakan sekali penampilannya.
"Mbak mau cerita. Kamu harus dengerin cerita mbak, ya!", aku tidak mempedulikan keadaan Windy yang nyawanya masih bertapa di tempat tidur.
"Kamu tahu nggak, tadi mbak ketemu sama pasien penderita amnesia yang pernah mbak ceritain dulu. Yang Irwansyah aja kalah ganteng. Masih inget kan? Aduh Win, mbak seneng banget bisa ketemu sama dia lagi setelah sekian lama hanya mendengar suaranya lewat telfon. Apalagi tadi dia bilang I love you ke aku, Win. Dan dia juga nyanyiin sebuah lagu buat aku.", aku bercerita dengan mata yang berbinar menatap langit-langit kamar adikku.
"Aku ikutan seneng, Mbak. Selamat, ya.", Windy tertawa dan memelukku hangat.
"Win, kayaknya mbak jatuh cinta sama dia, ya? Mbak bahagia banget waktu ketemu dia tadi. Mbak suka tatapan matanya, mbak selalu salah tingkah di depannya."
"Kayaknya sih mbak emang beneran jatuh cinta. Sekarang juga sudah saatnya mbak membuka hati setelah sekian lama terpuruk karena lelaki itu mbak.", Windy melepaskan pelukannya dan menatap mataku, mencoba menguatkanku untuk membuka hati kembali.
"Ya, Win. Mbak tahu sekarang memang sudah saatnya. Mbak tidak bisa selamanya menutup hati hanya karena ditinggal pergi oleh lelaki itu. Mbak harus membuktikan bahwa mbak mampu mendapatkan lelaki yang lebih baik dari dia. Dan membuktikan padanya bahwa dia memang tidak cukup baik untuk mbak. Mbak harus membalas perbuatannya yang membuat hati mbak hancur lebur. Membalas dengan cara yang baik, bukan balas dendam dengan kejam tapi membalas kejahatan dengan pembuktian.", aku menguatkan diriku sendiri. Rasanya aku seperti kembali menjadi perempuan labil yang gagal melupakan masa lalu.
Huuuuuuuh.
Aku menarik nafas panjang dan meredakan emosiku. Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalah ini. Aku bukan lagi anak perempuan belasan tahun yang baru mengenal luka karena cinta. Tapi aku adalah wanita dengan umur berkepala dua yang sudah cukup dewasa. Aku memejamkan mata dan berbaring di tempat tidur Windy.
"Mbak! Tidur aja yuk!", Windy memeluk tubuhku lagi. Kami tertidur diiringi suara rintik hujan.
JJJ
Sesampainya di rumah, aku bergegas menemui Mama di ruang tengah.
"Ma, dulu sebelum aku kecelakaan, apa aku pernah dekat dengan seorang teman wanita?"
"Teman wanita? Sepertinya, dulu kamu pernah berpamitan pada Mama untuk pergi ke rumah....... Ah, Mama lupa namanya. Kamu belum pernah mengenalkannya pada Mama, sih."
Aku menelan ludah kekecewaan lagi. Dengan wajah letih, kugerakkan kakiku menuju kamar. Kubuka lagi laci meja tempatku menyimpan surat itu dan kubaca sekali lagi surat itu.
Lalu, entah keajaiban darimana aku ingat dengan peristiwa yang tertulis di surat itu. Saat hujan deras aku pergi ke rumahnya, membawa bungkusan bakpau, melihat penampilannya ketika tidak mengenakan jilbab, bercerita bahwa aku suka bakpau juga hujan, dan ketika sebuah mobil menabrak motorku.
"Windy.", aku mengingat nama perempuan pengirim surat itu.
Kuraih kunci motorku dan berlari menuju garasi. Kukendarai motorku menuju alamat yang tertera di depan amplop itu. Tidak peduli hujan, motorku tetap melaju. Dan untuk yang kedua kalinya, entah keajaiban darimana yang membuatku tiba di depan sebuah rumah bercat putih abu-abu itu.
Kuberanikan diri, kuketuk pelan, dan perlahan-lahan kuhembuskan napas yang sedari tadi seperti tertahan.
Kraaaaaaaaaaak.
"Windy?"
"Kak Farid?"
Aku melihat sosok perempuan kurus tinggi dengan jilbab warna merah jambu berdiri di depanku.
"Kak Farid sudah sembuh?", matanya berkaca-kaca menatapku.
Aku menarik lengannya dan tanpa ijinnya aku mengajaknya ke rumah walaupun malam sedang ditemani hujan.
JJJ
Sesampainya di rumah, aku melihat Mama yang berdiri resah di depan rumah.
"Farid, kamu pergi kemana, sih? Jangan bikin mama merasakan hal yang sama seperti saat kamu kecelakaan dulu."
"Maaf, Ma."
"Siapa dia?", Mama menunjuk Windy yang berdiri di sampingku.
"Dia Windy, Ma. Pengirim surat yang aku terima beberapa hari lalu. Dia perempuan yang sempat terlupakan olehku, Ma. Dia perempuan yang dulu aku cintai........dan sampai sekarang."
Tiba-tiba aku melihat Suster Diana sudah berdiri dibelakangku dengan ekspresi membeku.
JJJ
"Mbak Diana?"
"Windy? Kamu..........", Mbak Diana menatapku dengan mata sendu.
"Mbak ngapain disini?"
Tiba-tiba air mata Mbak Diana berkumpul di sudut matanya kemudian meleleh. Dan aku tersadar bahwa mungkin Kak Farid adalah lelaki yang tadi diceritakan oleh Mbak Diana. Kemudian rasa sakit perlahan menghimpit hatiku. Menyadari hal ini lebih menyesakkan daripada mengetahui kenyataan bahwa Kak Farid sempat melupakanku. Mengetahui bahwa kami mencintai lelaki yang sama. Lelaki yang bernama Farid.
"Tuhan, apalagi ini?", aku memejamkan mataku.
JJJ
Aku menatap Windy dan Suster Diana bergantian. Suster Diana menangis. Sementara Windy memejamkan matanya, seperti menahan air mata.
"Dia adikku.", suara Suster Diana terdengar berat.
"Windy.......adikmu?", mulutku menganga dan dahiku mengerut.
"Iya."
Ekspresi wajah Suster Diana membuatku merasa bersalah. Aku menyakiti dua wanita itu. Aku menyakiti Suster Diana dengan cinta palsu. Aku tersadar itu bukan cinta, itu bukan rasa seperti yang aku punya untuk Windy. Rasaku untuk Suster Diana berbeda. Itu hanya rasa kagum yang menjelma jadi cinta. Tapi, aku terlalu egois, terlalu takut untuk berpisah dengan Windy lagi. Maka, kuberanikan diriku sekali lagi untuk meminta maaf padanya.
"Suster, maafkan aku.", hanya itu yang dapat aku ucapkan padanya dan kulihat dia hanya memandangku dengan tatapan kosong, dia mencoba memahami keadaanku sekarang. Kemudian, rautnya perlahan berubah.
"Tidak apa, Farid. Windy datang lebih dulu daripada aku dan Windy adikku. Mana bisa aku merenggut kebahagiaan adikku sendiri? Beginilah cinta, aku rela terluka. Cintaku pada adikku rela membuatku berduka untuk menjemput rasa bahagia. Rasa bahagia ketika melihat kalian bersama.", kudengar keikhlasan dan kerelaan dalam nada suaranya. Aku tersenyum lega. Dan Windy perlahan membuka mata, air matanya tak berhasil dibendungnya.
Windy menghampiri Suster Diana dan memeluknya.
Memang cinta bukan hanya soal bahagia. Tapi cinta juga membawa luka, luka yang pada akhirnya akan membawa bahagia. Dan begitu seterusnya.
"Ah, Windy. Suratmu sudah berhasil mengingatkanku padamu. Trimakasih.", bisikku dalam hati.
JJJ
Kediri pagi hari, dengan hidung sedang flu (lagi).
Wah keren.. kenapa gak dibikin cowoknya pacaran sama kedua cewek itu aja.. :D
BalasHapushaha. polipacaran dong :D
Hapussampe ke bawa suasana cerita :D
BalasHapuseh masak? :D
HapusTulisan yang asyik dibaca!
BalasHapuskeren ihh serius deh. gambaran gantengnya si Farid nyata banget di pikiran aku.
BalasHapuseh iya? :D
HapusGak bikin bosen deh berkunjung ke blog ini, tulisannya bagus bagus
BalasHapus